"Motor baru lagi?"
Tidak ada sahutan. Galang bahkan menatap orang yang mengajaknya bicara itu dengan tatapan datar. Lebih tepatnya, sedari tadi, raut wajahnya tak menunjukkan ekspresi yang berarti.
"Lang, gua nanya sama lo bukan ngomong sama tembok," ulang orang itu, menekankan kalimatnya.
Galang menghela napas kasar. Cowok itu mengempaskan pantatnya di kursi yang ada di ruang tamu. Berhadapan dengan Kefas, abangnya.
"Lo menang lagi?" ulang Kefas, kali ini pertanyaannya dibuat lebih retorik.
Galang mengedikkan bahu.
Kefas mengembuskan napas kasar. Cowok itu mengusap wajah, lalu kembali fokus kembali pada laptop yang ada di hadapannya.
"Mulai besok, lo yang jemput Nathan, ya. Gua nggak bisa," kata Kefas, memecah keheningan.
Galang mengangguk cuek. Dia akhirnya menyingkir dari ruang tamu dan pergi ke kamarnya sendiri.
Galang mengempaskan pantatnya ke kursi kayu yang ada di kamarnya, lalu memainkan kontak motornya dengan pikiran kosong.
Beberapa jam yang lalu, dia memang memenangkan pertandingan lagi. Berbeda dari biasanya, kali ini taruhannya adalah motor. Galang dengan senang hati menerima motor yang jauh lebih jago, dan keren.
Meskipun wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kesenangan itu.
Cowok itu berdiri, lalu melemparkan tubuhnya ke kasur. Berharap penatnya hilang.
Kalau aja. Kalau aja. Kalau aja.
Kenapa pikirannya malah berkelana kemana-mana di saat ia tidak melakukan kegiatan apa pun?
Ah, percuma. Mau dipikirkan sampai jenggotan pun, waktu tidak akan berubah menjadi seperti apa yang diinginkan Galang.
Yang bisa Galang lakukan hanyalah menjalani hidup seperti seharusnya.