Galang menggoyang-goyangkan kakinya tak nyaman. Sedari tadi pagi mendung, hujan deras yang tak berhenti sampai bel pulang berbunyi membuatnya harus menunggu, setidaknya sampai hujan itu tinggal gerimis.
"Lang."
Galang sudah lama tak mendengar suara itu memanggil namanya. Cowok itu menoleh, mendapati Naya yang sedang duduk di kursi yang tersedia.
"Gua mau ngomong."
"Daritadi lo udah ngomong," ujar Galang akhirnya. Cowok itu ikut duduk di sebelah Naya sambil menopang dagu, menunggu hujan berhenti.
Naya terkekeh, tapi kekehannya tak bertahan lama.
"Gimana semuanya?"
"All good."
Naya mengangguk-angguk. Galang tahu kalau bukan itu maksud pertanyaannya.
"Gua masih kerja. Gua masih nyesel karena udah ngejual motor. Gua masih hidup," jelas Galang.
"Oh, glad to hear that you're still alive."
Galang berdeham, dalam hati dia tersenyum kecil ketika Naya sarkastik seperti itu.
"Lang, mungkin abis hari ini, lo nggak akan duduk sedeket ini lagi sama gua. Mungkin abis hari ini, kita nggak akan bisa ngobrol kayak gini, karena itu... I want to tell you something."
Galang mengangguk. Dia memainkan jari-jarinya. "Go ahead."
"Gua tahu mungkin hidup lo setelah bokap lo masuk penjara itu buruk. Karena hal itu berhasil ngubah lo jadi sosok lain yang gua nggak kenal.
"Gua nggak tahu rintangan apa aja yang udah lo lewati. Gua bahkan nggak tahu apa yang lo rasain sekarang. Gua cuma bisa nebak-nebak, Lang.
"Mungkin dulu gua suka sama lo karena lo yang sangat bahagia ketika main drum. Lo yang sangat bahagia ketika ngejailin temen. Lo yang berhasil mengekspresikan semua kebahagiaan di saat gua berusaha untuk mencari definisi bahagia itu sendiri."
Galang merasakan sesak ketika mendengar kalimat Naya. Naya mungkin mengetahui tentang dirinya zaman dulu, tapi kenapa dirinya tak pernah mengenal, atau bahkan tahu soal Naya? Kenapa Galang tak pernah sadar kalau dia memiliki tetangga depan rumah—yang dulu—seperti Naya?
"Lo masih hebat sampe sekarang. Lo masih punya banyak hal lain yang bisa gua sukai sekarang. Yeah, this is my confession.
"Gua tau lo nggak punya perasaan yang sama, and I don't mind. Gua murni cuma mau bilang aja.
"I turned out liking you alot more than I originally planned. Gua cuma nggak mau jadi gila aja karena nyimpen hal kayak gini," ujar Naya, cewek itu tak berani menatap atau pun melirik Galang. Jantungnya berdegup sangat kencang sekarang. Memikirkan hal ini sebulan belakangan hampir membuatnya gila. Dengan keberanian yang tidak bisa dibilang berlebih, cewek itu akhirnya mengakui pada Galang.
Sedangkan Galang masih sibuk bertarung dengan hatinya. Cowok itu mengembuskan napas gusar.
"Nay," panggil Galang.
Suara hujan yang bertubrukan dengan atap membuat Naya harus menajamkan pendengarannya.
"Gua nggak membatasi lo dengan perasaan itu. Bareng-bareng sama gua justru nggak akan bikin lo aman. Andaikan, ya, gua suka sama lo. Terus, apa dengan deketan sama lo, lo bisa aman? Gua ngelindungin diri gua sendiri aja belum bisa. I don't take the responsibility. Kalau dengan jauh dari gua bikin lo aman, kenapa harus cari mati?"
"Just promise me something."
Galang berdeham. Dia tak menyangka, waktu akan berjalan sangat cepat bila dia berdekatan dengan Naya.
"Don't lose hope."
Galang mengangguk.
"Jangan nunggu gua, Nay. Nunggu itu nggak enak. Kalau ada yang bikin lo bahagia, why the hell not giving him a chance?"
Naya tertawa pelan, suara tawanya bahkan ikut hilang bersama suara hujan.
"Perhaps one day we will meet again as characters in a different story. Maybe we'll share a lifetime then."
author note:
iya, ceritanya ini harusnya apdet besok, tapi sekarang acu gabut karna mati lampu. :(
soooooooooo, let me know about your thoughts on this story! comment here so aku bisa memperbaiki kekuranganku di cerita ke depannya.
ohya, kalimat terakhir yang diucapkan naya itu merupakan quotes dari Pavana (memberi kredit di akhir kata kok keknya jelek so I wrote down here).
jadi... baca ini dulu ae kuy sebelum malmingan xD
i love all of you guys yang udah ngikutin cerita ini dr awal sampe akhir:')))) makasih, makasih, makasih❤️
see ya peeps on my other stories!!