Naya sudah duduk di halte ini selama dua jam. Melihat semua aktivitas manusia yang beragam membuatnya dapat menyegarkan pikiran.
Naya mengembuskan napas saat gelap sudah mulai menguasai langit. Cewek itu lebih suka sesuatu yang terang dan hangat.
Naya memutuskan untuk berdiri dan pergi dari halte. Cewek itu berjalan pulang. Perutnya menginginkan makanan bergizi, tapi mulutnya sedang menginginkan kembang gula.
Naya merinding secara tiba-tiba. Cewek itu merasa suasana hari ini agak tidak mengenakkan.
Tak lama setelah bulu kuduknya naik, dia mendengar suara gedebukan. Naya mengepalkan tangannya.
Bodoh, kenapa nggak bawa ponsel, Nay?! batin Naya.
Naya mau tak mau harus mendekati suara itu karena jalan itu merupakan jalan pulangnya. Ke mana satpam perumahan yang katanya bisa membuat tenang seluruh penghuni perumahan?!
Naya menelan ludah kasar saat melihat ada tiga orang mengeroyok satu orang. Naya merasakan jantungnya berdegup kencang. Rumah-rumah di sini, kebanyakan merupakan rumah kosong yang gelap dan tampak terbengkalai, hanya rumah Naya dalam sederetan yang berpenghuni. Pantas saja tak ada yang keluar untuk menolong.
Naya menekan rasa takutnya. Cewek itu mendekati lokasi kejadian, lalu berteriak nyaring, "BERHENTI ATAU SAYA BAKAL LAPOR POLISI!"
Ketiganya, atau keempatnya, langsung menoleh pada Naya. Yang membuat Naya melebarkan bola mata adalah, yang dikeroyok itu merupakan Galang. Naya berusaha menahan air matanya saat melihat cowok itu lagi-lagi terkulai tak berdaya.
Naya buru-buru menghampiri Galang ketika cowok itu dilepaskan cekalannya oleh para preman.
Salah satu preman itu menepuk pipi Galang kasar sambil berkata, "Kalo lo belum bayar sampe minggu depan, cewek ini. Lihat aja nanti."
Naya menatap kepergian ketiga preman itu dengan kemarahan yang mencapai ubun-ubun.
"Lang."
Galang berdeham. Wajah Naya bahkan tak terlihat saking blurnya pandangan Galang.
"Lo bisa berdiri? Gua obatin di rumah gua aja, ya?"
Galang berdeham lagi. Cowok itu berusaha menggerakkan kakinya sembari dipapah oleh Naya.
Naya mendudukkan Galang di sofa yang ada di ruang tamu. Cewek itu buru-buru pergi untuk mengambil P3K.
"Sebenernya apa sih, yang terjadi, Lang?" tanya Naya sembari membersihkan luka Galang dengan alkohol.
Galang berusaha menahan perihnya. "Nay, mulai besok, jangan deketan sama gua lagi, ya. Seharusnya, tadi lo nggak usah nolongin gua."
"Lang, gua nanya."
Naya berusaha mengatur napasnya yang masih ngos-ngosan sambil berusaha menahan tangisan.
Dia benar-benar rindu Galang yang dulu.
"Bokap korupsi. Rumah disita. Bokap keluar dari penjara. Ngutang sana-sini. Bokap ngilang ditelan bumi. What a life."
Kalau boleh Naya katakan, Galang bisa dibilang merupakan satu-satunya orang yang bisa menjelaskan kejadian dalam kurun waktu beberapa tahun menjadi satu kalimat.
"Sekarang lo ngerti, 'kan, kenapa harus jaga jarak sama gua? Kalau perlu nggak usah kenal sama gua, Nay."
"Dari dulu gua selalu pengin kenal sama lo, Lang. Knowing you in person would be great. Gua kira, kali ini bisa."
Galang tak menjawab apa-apa. Kalimat Naya terlalu sulit dimengerti oleh otaknya yang sudah tidak bisa dimasuki informasi lagi.
"Gua udah tau lo dari kecil, Lang. Aloysius Galang. Si anak paling nakal satu komplek, tapi juga anak yang paling jago main drum dan selalu menang di balapan sepeda onthel.
"I knew you since we were like four, or three?"
Galang mendadak paham. Dia mendadak mengerti kenapa Naya tahu soal kemampuannya dan hobinya bermain drum. Dia mendadak tahu siapa orang yang menyelipkan foto itu di jaketnya.
"Lang."
Galang berdeham. Dia masih susah mencerna dan menerima semua kenyataan ini.
"Just don't lose hope. Gua tau mungkin ini basi atau gimana, tapi gua yakin, Lang, Tuhan nggak akan ngasih cobaan yang melebihi kemampuan kita. Please, hang on."