"Muka lo kenapa, jir?!"
Galang menatap Gema dengan tatapan datar. Cowok itu menopang dagunya dengan sebelah tangan sambil berusaha menghafalkan geografi yang menjadi bahan ulangan pagi ini.
"Ditonjok lah, pake nanya," ujar Leo, yang tahu kalau Galang tak akan menceritakan apa pun.
"Dikeroyok kali. Galang 'kan, dikit-dikit bisa bela diri," ujar Gema, lalu kembali memandangi luka-luka di wajah Galang yang diobati sebisanya.
Bel berbunyi nyaring, membuat observasi tanpa hasil milik Gema harus terpotong saat itu juga. Galang dengan senang hati berjalan menuju kelasnya.
Cowok itu tak menghiraukan tatapan sekelas dan guru jam pertamanya yang heran dengan wajah babak belur cowok itu.
"Lang, lo abis dipukulin orang satu kampung, ya?" Sambutan pagi hari yang cukup baik saat Galang mendaratkan pantatnya di kursi.
Seketika itu juga, Galang langsung ingin menyumpal telinganya dengan headphone yang super besar. Dia tahu kalau pertanyaan Naya tak akan berhenti di situ.
"Lang, itu ngobatinnya asal banget sih?" tanya Naya, beberapa menit kemudia setelah cewek itu yakin kalau Galang tak akan menanggapi pertanyaan pertamanya.
Galang mengembuskan napas kesal. Cowok itu berusaha menaruh perhatian pada Bu Fefe yang sedang mengajar di depan, tapi selalu gagal karena Naya beribu kali memanggil namanya.
"Nay, bisa diem nggak? Berisik," ujar Galang akhirnya.
Naya terdiam sebentar karena disela oleh Galang. Cewek itu akhirnya bisa melihat dengan jelas seluruh memar di wajah Galang.
"Nanti istirahat minta anak PMR obatin kek, Lang," ujar Naya.
Respon terkini: tidak ada.
"Lang."
"Nay, diem."
"Lo nggak bisa bela diri, Lang?" tanya Naya, masih tak kapok.
Galang menoleh pada Naya dengan tatapan tajam alanya, lalu berkata, "Can you just shut the hell up?"
Naya akhirnya terdiam. Galang lega dalam hatinya, meski ada perasaan bersalah karena akhirnya cewek itu tak membuka mulut sampai bel pulang berbunyi.
author note:
cerita ini terlalu boring kah?