13. Jadi Bagaimana?

342 87 8
                                    

Akhir pekan seperti ini rumah makan Bae Eunso tidak seramai hari-hari biasa. Jika Senin-Jum'at rumah makan itu akan selalu ramai di jam makan siang sampai jam pulang kantor, maka Sabtu dan Minggu rumah makan Bibi dari Irene dan Seulgi itu hanya ramai pada sore sampai malam hari, selebihnya mereka -para pelayan- bisa melayani pembeli dengan santai tanpa harus tergesa karena pembeli tidak terlalu ramai.

Irene menghampiri Bae Eunso yang tengah duduk di salah satu meja di dekat kasir. Bibirnya menampakkan senyuman bahagia entah karena apa. Irene yang melihatnya ikut melengkungkan bibir secara otomatis lalu duduk di hadapan Bibi satu-satunya itu.

"Ada hal bahagia yang perlu aku ketahui?" Bae Eunso tersenyum makin lebar seraya mengusap lengan lembut keponakannya.

"Rumah makan ini. Aku bahagia bisa memiliki tempat untuk orang-orang yang merasa lapar dan menghidangkan makanan yang mereka inginkan. Bahagia itu sederhana bukan?" Irene menanggapinya dengan anggukan kepala masih dengan senyuman yang terpatri di bibir merahnya.

"Omong-omong, apa Siyoon sudah memberi tahumu kalau dia akan ke Seoul?" Bae Eunso teringat akan pesan kakak iparnya semalam yang mengabarkan akan bertandang ke Seoul bersama suaminya.

"Eomma? Aku tidak mendapat kabar apapun darinya." Irene merogoh saku depan apron yang dikenakannya mengambil ponsel, memastikan kalau dari semalam tidak ada satupun pesan masuk dari Ibu atau Ayahnya perihal mereka akan berkunjung ke Seoul.

"Tapi dia tidak memberi tahu waktunya kapan. Hanya bilang kalau dia dan Changsun ingin menjenguk kalian."

"Biar kuhubungi Eomma dulu."

***

Suara berat Chanyeol yang memanggil putrinya menggema di hampir seluruh ruangan. Putri semata wayangnya itu mengajak sang Ayah -yang sebenarnya masih ingin bergelut dengan selimut serta bantal dan guling- bermain petak umpet. Mau tidak mau Chanyeol harus bangun demi menuruti keinginan putrinya.

"Nara-ya~"

Wendy yang melihat suaminya masih dengan muka bantal, boxer longgar dan kaos tanpa lengan dari arah dapur tertawa pelan. Tentu pemandangan Chanyeol di Sabtu pagi ini juga tak luput dari mata Oh Minyoung. Ibu dari Park Jimin yang juga berada di dapur bersama Wendy ikut menertawakan penampilan Chanyeol yang menggelikan.

"Apa suamimu tidak sempat mencuci mukanya dulu sampai harus berpenampilan seperti itu?" Tawa pelan masih mengiringi percakapan dua ibu rumah tangga yang sedang berkutat dengan alat-alat dapur itu.

"Bibi seperti tidak tahu Chanyeol saja. Dia mana pernah kepikiran untuk mencuci mukanya saat bangun tidur ketika Nara sudah merengek minta ditanggapi bermain." Kemudian keduanya melanjutkan acara masak dan membiarkan Chanyeol yang masih berusaha mencari di mana putrinya sembunyi.

"Malam ini kita makan di luar, bagaimana?" Lee Saeyoung sengaja menyela pembicaraan cucu-cucunya tentang proyek dan segala macamnya yang membuatnya menarik napas dalam. Ini masih pagi dan ia sudah dibuat pusing dengan bahasan cucu-cucunya saat sarapan. Seringkali dirinya memperingati untuk membahas hal lain saat di meja makan dan membahas pekerjaan di ruang kerja. Tapi, seolah perintahnya itu justru dianggap seperti kekesalan sesaat Neneknya saja.

"Nenek mau makan di mana?" Tanya Wendy sambil menuang air putih ke dalam gelas suaminya.

"Aku mau bubur abalon yang Jimin sering belikan. Itu ada di mana?" Nenek dari 3 cucu itu menyudahi makannya. Meletakkan terbalik sendok dan garpu di atas piring kosongnya.

"Dekat kantor Jimin. Aku pernah menjemputnya disana saat mobilnya mogok." Sahut Sehun yang juga baru saja menyudahi sarapannya.

"Kalau begitu kita makan disana. Nara mau kan makan bubur abalon yang sering paman Jimin bawakan?" Sang Nenek mencoba menawari putri cucunya dengan senyuman.

Kacamata Punya CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang