Rerintik gerimis mengetuk jendela kamar. Ranu terbangun dari tidurnya. Kantuk yang menggelayut membuat mata berat membuka. Dengan masih malas-malasan, Ranu berusaha meraih jam weker di sebelah lampu tidur. Setelah ia lihat, masih pukul tujuh pagi. Hujan menyambangi di pagi hari rupanya.
Hawa dingin yang ditimbulkan air Tuhan, selimut yang hangat, juga gaya gravitasi kasur yang begitu kuat menarik tubuh Ranu agar tetap berdiam diri atau mungkin, melanjutkan tidur. Ini hari Senin. Hari paling menyebalkan yang selalu ada di tiap minggunya, kata orang-orang yang terpenjara pada rutinitas yang itu-itu saja—membosankan. Sekuat tenaga Ranu berusaha terlepas dari cengkraman kenyamanan tempat tidur, akhirnya ia berhasil memutus ikatan.
Ranu turun dari kasurnya lalu memakai sendal kamar sebelum kemudian ia berkaca dan menyisir rapih rambut lurus coklatnya yang acak-acakan. Juga mengikat rambutnya dengan ikat rambut berwarna putih yang tampak kontras dengan rambutnya.
Kemarin adalah hari-hari paling melelahkan dimulai. Beberapa judul skripsi yang Ranu ajukan pada Bu Fiona, semuanya tertolak mentah. Di kampus, Bu Fiona terkenal sebagai dosen pembimbing yang killer. Beruntung saja, dosen muda berkacamata itu tidak memegang sikap perfeksionis. Judul-judul yang Ranu ajukan ditolaknya karena kurang relevan dengan tema yang diusung oleh jurusan. Ah, sial! kata Ranu saat itu.
Ranu keluar dari kamarnya, melangkah menuju ruang tengah, terlihat beberapa teman indekosnya tengah asyik bermain ludo—pada sebuah aplikasi. Mereka duduk melingkar dan gawai sebagai titik pusatnya.
"Enggak biasanya, udah pada bangun," kata Ranu sebelum kemudian duduk di sofa merah
"Kamu aja yang baru bangun, Ran. Biasanya juga kan begitu," balas seorang gadis berkerudung kuning. Semua tertawa.
Tak bisa dipungkiri bahwa teknologi semakin canggih, zaman berkembang sangat cepat. Sayangnya, kepedulian orang-orang terhadap lingkungan sekitarnya kian hari menurun.
Lucu memang, permainan sekelas ludo kini sudah bertransformasi ke dalam bentuk yang lebih sederhana dan mudah untuk dibawa. Tak perlu lagi membawa bidak-bidak berwarna, mengocok dadu, atau menggerakan bidak untuk melangkah sesuai angka yang didapat. Semuanya dijalankan oleh sistem.
Teman-teman indekosnya masih asyik bermain, sementara dari arah belakang Ranu muncul seorang wanita baya. Tampak rambut putihnya mulai menghabisi seluruh rambut hitamnya. Baju daster motif bunga-bunga yang ia kenakan menjulur sampai betis. Itu, Bu Imas—biasa dipanggil Mamah oleh para penghuni indekos—, pemilik rumah yang ditinggali hampir tiga setengah tahun oleh Ranu.
Sebagai anak rantau dari tanah paling barat Pulau Jawa. Ranu datang ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan, dengan tanpa ada satu pun sanak saudara yang menetap di sekitaran Bandung. Mau tak mau, ia harus menetap di kamar indekos, dan dari sanalah ia memulai persahabatan dengan kedua teman indekosnya.
Dari keempat teman indekos yang sedang bermain ludo, hanya tiga di antaranya yang sama-sama anak rantau. Si gadis berkerudung kuning tak termasuk. Ia adalah Tya Handayani—anak semata wayang dari Bu Imas, pemilik rumah indekos.
"Judul skripsinya, gimana, Ran?" tanya Tya yang masih serius bermain ludo.
"Dari tiga judul skripsi, semuanya ditolak," jawab Ranu masih memperhatikan.
"Jangan pantang menyerah, Neng. Baru juga judul skripsi," ucap Bu Imas lalu duduk di sebelah Ranu.
"Santai aja, Ran, judul skripsi aku juga ditolak kok," tambah Hani—sahabat Ranu—berusaha menyemangati karena senasib.
"Iya, Ran. Santai aja, jangan kamu ambil hati," timbal Tya.
Ranu diam menyimak. Sedetik kemudian, ia tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ranu Biru
Fiksi UmumRanu Biru. Kata "Ranu" diambil dari bahasa Jawa yang berarti air dan "Biru" yang diambil dari birunya lautan. Ya, Ranu dilahirkan di atas sebuah kapal feri, di atas selat Sunda.