Pulang

2.3K 229 73
                                    

ini bukan tentang cinta yang berakhir dengan satu ikat bunga disalah satu tangan mereka.
Ini bukan kisah yang dapat membuat si pendengar merasa sedikit mual karena merasa banyak kupu-kupu yang berterbangan didalam perutnya.
Ini bukan suatu keadaan dimana ada sebuah suara kicauan burung di pagi hari.

Tentang rumitnya satu bagian tubuh yang belum bisa mencerna kenyataan yang ada.
Tentang daun yang dengan sukarela mau menjatuhkan dirinya bersama angin demi membuat mata seseorang berbinar senang tanpa tau bahwa itu sangat menyakitkan karena harus berpisah pada sang sumber kehidupan.
Tentang angin yang berhembus bersama dengan titik-titik air yang tidak lebih besar dari pasir pantai.
Tentang kereta api yang tidak pernah lelah berjuang memikul beban sendiri, membuat semua orang yang ada didalamnya memekik senang karena dapat melihat pohon yang seolah terlihat tengah berlari menjauh, setidaknya anak-anak yang lebih banyak berceloteh.

Pemuda itu masih di sana. Menikmati senja yang tak kunjung mereda. Menikmati angin yang berhamburan untuk bisa mencumbu kulit putihnya. Menikmati warna orange bersemu merah dihadapannya.

Ia menutup kedua matanya, berharap sesuatu bernama ketenangan segera sudi bertamu padanya.

Tidak ada yang ia pikirkan. Ia hanya tinggal duduk diam di sana, menikmati segala fasilitas yang Tuhan beri untuk menemani kesunyian yang tercipta.
Tetap di sana hingga nanti telinganya sudah mampu mendengar suara nyaring yang diakibatkan dari gesekan ban dengan besi yang terpasang dibawahnya. Jangan lupakan suara peluit yang akan menggema dengan keras.

Namun, otak kosongnya tiba-tiba saja diketuk dengan keras membuat si pencuri masuk begitu saja dalam pikirannya. Ia mencuri semua yang ada di sana, pikirannya.

Meski begitu, ia tetap tenang dan menutup matanya, menyembunyikan sepasang manik hitam kelam yang tinggal didalamnya.

"Jimin!"

Tidak. Suara itu kembali menyapa telinganya. Ia tau setengah jam lagi keretanya pasti datang. Dan, yahh itu sudah terbukti secara nyata. Suara itu sudah seperti pengatur waktu baginya dan ia percaya akan hal itu.

"Jiminnie!!"

Sekarang nada itu berganti menjadi lebih menuntut. Ia berharap pemuda bernama Jimin itu mau membuka kedua matanya, karena ia tau waktu mereka tidak lama. Sebentar lagi kereta Jimin datang, dan seperti kejadian sebelumnya ia hanya bisa tersenyum lemah memandang punggung tegap yang perlahan hilang ditelan pintu kereta itu.

"Yakk!! Park Jimin!!"

Jimin menyerah. Ia segera membuka kedua matanya, menampilkan manik hitam dengan ruam merah di bagian putihnya.

Dia melihat dengan jelas, sesosok yang berdiri tak jauh darinya dengan wajah yang tersenyum sangat manis ditambah sinar matahari yang akan segera menyelesaikan tugasnya menerpa bagian belakang tubuhnya. Seperti malaikat. Tapi, Jimin kembali pada kewarasan nya, ia kembali sadar dan kembali pada perannya untuk pura-pura kuat.

"Pulanglah Seokjin.."

Kedua belah bibir itu secara otomatis melengkung kebawah ketika Jimin dengan santainya mengatakan kalimat itu. Hey, kenapa dia diusir? Lagipula, Seokjin sudah susah payah untuk menunggu hingga Jimin pulang bekerja disaat matahari akan tenggelam dimakan sesuatu yang tak terlihat.

"Kenapa kau malah menyuruhku pulang, huh?"

Ahh, Jimin ingat ekspresi itu ketika dulu mereka lupa membawa payung saat hujan deras sepulang sekolah. Jimin disalahkan, tapi ia tak masalah.

"Kau harus pulang Seokjin!"

"Aku tidak mau!! Aku merindukanmu, bukankah biasanya kita juga seperti ini, huh? Jadi, apa masalahmu?"

We Purple YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang