[04] SC | Dia ... Gay?!

24.3K 2.2K 77
                                    

Suara dari perut Ollin yang sedari tadi berbunyi meminta jatah makanan, membuat perempuan itu mengelus perutnya beberapa kali. Berpikir jika cara itu bisa mengurangi rasa lapar yang kini tengah menggerogoti dirinya. Padahal, sebenarnya cara itu sama sekali tidak mempengaruhi organ pencernaan Ollin, yang tengah membutuhkan benda bernama makanan untuk dicerna.

Mengelus atau menyentuh suatu bagian dari tubuh, hanya gerakan yang spontan kita lakukan ketika seseorang merasa tidak beres terhadap salah satu anggota tubuhnya. Seperti halnya ketika pusing, spontan kita akan menyentuh kepala kita. Atau ketika bulu kuduk kita berdiri, kita juga spontan mengelus leher bagian belakang kita. Tapi tidak semua juga seperti itu, ini hanya hal-hal sederhana yang tanpa sengaja sering kita lakukan.

Berjalan seraya menenteng tas besar dan juga menggeret koper membuat tenaga Ollin terkuras dengan cepat. Maklum saja, perempuan biasanya memang lebih cepat lelah daripada laki-laki. Ini hal yang membuat laki-laki terlihat lebih kuat, memang pada dasarnya kapasitas tenaga yang Tuhan beri terhadap laki-laki lebih besar daripada kapasitas energi yang Tuhan beri pada perempuan. Tapi jangan salah, meski perempuan kerap terlihat lemah, tapi hati perempuan jauh lebih kuat ketimbang laki-laki. Kontrol emosi perempuan juga jauh lebih baik daripada laki-laki. Perempuan itu istimewa. Kalian para laki-laki tidak seharusnya menyakiti perempuan. Kalian lahir dari perempuan. Ingat itu!

Ollin memandangi jalan, sempat beberapa kali menghentikan angkutan yang lewat. Tapi satupun dari mereka tidak ada yang berhenti untuk sekedar berbasa-basi dengannya. Udara malam yang begitu dingin, membuat Ollin merasa dinginnya malam itu menusuk hingga ke tulang-tulangnya. Ollin mengeratkan jaket boomber miliknya, yang begitu mirip dengan jaket yang sering Pak Jokowi. Jaket itu Ollin dapatkan sebagai bentuk terima kasih dari distro pakaian, yang menggunakan jasanya untuk mempromosikan produk distro tersebut. Selain mendapatkan jaket boomber yang sempat viral karena kerap dipakai Pak Presiden itu, Ollin juga mendapat komisi. Tidak banyak, tapi cukup untuk makan sekitar dua mingguan.

"Jangan bunyi terus, Nak. Ini lagi nyari tempat makan yang enak tapi murah," ucap Ollin masih mengelus perutnya. Tingkahnya itu sudah seperti seorang ibu yang tengah mengajak bicara janin yang ada di kandungannya. "Hari ini pada sombong-sombong banget sih, supir taksi, bis, sama angkotnya. Nggak ada yang mau ngasih gue tumpangan. Pada bilang kalau udah penuhlah, nggak searahlah, lagi nggak nariklah, lagi inilah itulah, lah lah aja! Kenapa cewek secantik gue banyak yang nolak sih? Ckck, orang-orang udah pada buta nih! Mama, kenapa dikau membuat adinda seperti ini!!" Ollin menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal, membuat perhatian beberapa orang yang berjalan di sekitarnya menatap aneh perempuan itu.

"Apa lo liat-liat? Naksir? Sori, gue normal. Masih suka pisang Ambon," ketusnya pada dua orang perempuan ber-make up tebal, yang terus memandanginya dengan pandangan merendahkan. "Dasar orang aneh, Yuk Ra kita pergi aja. Jangan sampai ketularan itu cewek," bisik salah satunya, yang masih bisa Ollin dengar. Ollin semakin meradang mendengar penghinaan itu.

"Masih mending orang aneh, dari pada cabe-cabean kayak lo-lo pada!" Ucapan Ollin diakhiri dengan juluran lidahnya, seolah mengejek dua perempuan yang Ollin sebut sebagai cabe-cabean yang sudah berjalan menjauh itu.

"Heran deh gue, makin banyak aja cabe-cabean di muka bumi ini. Perasaan cabe rada mahal deh. Palingan mereka para generasi micin. Kenapa nggak disebut micin-micinan aja dah? Kayaknya lebih cucok." Seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, Ollin berdecak kesal.

Kembali melangkahkan kakinya di trotoar jalan, tanpa sengaja mata Ollin terpaku pada sebuah cafe yang tampaknya baru dibuka. Tepat di sisi cafe itu terpasang papan reklame berisikan harga promo makanan cafe tersebut. Di lihat dari desain luar cafe, cafe itu terlihat bagus dan juga elegan. Cafe bernama Aksara & Netra itu, juga tampaknya ramai oleh pengunjung. Terbukti dari tempat parkirnya yang hampir penuh. Secara tidak langsung hal itu membuktikan bahwa makanan di cafe ini memiliki cita rasa yang enak.

Bibir Ollin seketika melengkung mengulas seutas senyum, senyum manis yang merupakan daya tarik perempuan itu, "Pucuk dicinta, surga makanan pun sudah tersedia di depan mata. Nikmat mana yang kau dustakan. Beh, beh, bener-bener rejeki anak soleh ini." Ollin kembali berdecak, namun decak berupa kekaguman yang kali ini perempuan itu pamerkan. "Tuh kan, Nak. Berkat kesabaran kita, ada juga tempat makan yang harganya murah meriah. Kalau masalah enak enggaknya, Ibu belum bisa menjamin, kan belum nyobain," ucap Ollin, tangannya kembali mengelus perut ratanya itu. Kembali bertingkah seolah-olah berbicara dengan janin yang ada di kandungannya.

"Let's go! Kita makan-makan!" Dengan semangat mengembara, Ollin membenarkan tentengan tas besarnya, lantas menggeret koper berisi kebutuhan pribadinya itu ke arah cafe. Sebelum menuju pintu utama cafe, perempuan berusia seperempat abad itu menitipkan tas dan kopernya di pos satpam. Untung saja si penjanga pos alias pak Satpamnya mau berbaik hati menjaga barang-barang Ollin.

*****

"Kamu harus makan banyak, Di. Kasihan itu badan kamu kurus banget," ucap Gray seraya menunjuk makanan berupa steak di atas piring teman laki-lakinya itu. Laki-laki yang Gray panggil 'Di' itu tidak menjawab, melainkan menarik dua sudut bibirnya membentuk seutas senyum. "Tapi, ini cafe mahal Mas, Aldi―"

"Nggak mahal kok, masih harga promo. Nggak bakal nguras kantung Mas. Nggak usah khawatir gitu, ah! Kayak sama siapa aja." Gray melempar seulas senyum ke arah Aldi, namun dibalas dengan senyuman canggung oleh Aldi. Laki-laki yang saat ini duduk di depannya itu sangat berarti bagi Gray, Gray tidak tahu lagi harus berbuat apa jika tidak bertemu dengan Aldi dua tahun lalu. Barangkali separuh jiwanya benar-benar tidak dapat terisi lagi.

Tergeragap Aldi membalasnya, "I-iya, Mas. Ma-makasih."

"Nah gitu dong, jangan canggung kalau sama saya mah." Tepukan halus Gray berikan pada bahu Aldi.

Kegiatan mereka berlanjut dengan ke dua laki-laki itu, yang sama-sama fokus terhadap makanan mereka masing-masing. Tidak sampai dua puluh menit, acara makan-makan mereka―Gray dan Aldi―pun akhirnya berakhir. Santapan terakhir yang Gray juga Aldi makan, adalah berupa puding coklat bertekstur lembut yang begitu nikmat. Sayang, porsinya begitu kecil sehingga tidak membuat keduanya sama-sama puas.

Berjalan keluar cafe, mereka masih saling berbincang, menanyakan beberapa pertanyaan yang kerap digunakan oleh orang untuk berbasa-basi.

"Oh ya, Di. Bagaimana kabar kedua orang tua kamu? Apa kabar mereka sudah membaik, atau belum? Saya benar-benar khawatir, setelah mereka tahu―" Pertanyaan dari Gray, membuat gerakan Aldi yang hendak membuka pintu kaca cafe itu, seketika terhenti. Dengan wajahnya yang menyiratkan kesedihan yang begitu mendalam, laki-laki muda itu menggelengkan kepalanya. "Kondisi tubuh, Alhamdulillah baik. Tapi ... kalau mengenai perlakuan mereka, masih sama Mas, belum ada perkembangan. Mereka masih marah sama Aldi."

Tanpa ragu, Gray menarik tubuh ringkih Aldi ke dalam pelukannya. Gray tidak perlu khawatir ada orang yang bakal salah paham dengannya juga Aldi, karena pintu masuk cafe itu begitu sepi. Jalan masuk cafe itu berbentuk lorong panjang, di mana pengunjung cafe dan juga penjaga kasirnya berada nun jauh di ujung lorong sana.

"Sab―"

"Oh My God! Mata saya ternodai! Bapak mesum sama laki-laki! Pak Gray itu ... gay?!!" Suara memekik dari seorang perempuan yang tidak lain dan tidak bukan merupakan Alana Ollin Nadheranjani itu membuat pelukan Gray dan Aldi terlepas secara paksa. Wajah ke dua laki-laki beda usia itu tampak cengo, barangkali merasa aneh dengan perempuan di depan mereka kini. Ollin tak ubahnya seperti hantu, datang tidak diundang, sekalinya diundang sudah buat kerusuhan.

"Alana? Kenap kamu ada di sini?!" Pertanyaan bodoh dari Gray membuat spekulasi Alana mengenai laki-laki itu yang merupakan pecinta sesama jenis semakin kuat. Ollin menganggukkan kepala beberapa kali, matanya tampak fokus pada sang dosen tampan.

TBC


Suka tidak?

Lanjut tidak?

Beberapa part emang nggak saya ubah, masih sama. Ehehe cuma beberapa aja. Maaf untuk typonya.

Skripsurd  | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang