11. Hujan dan Bandara

53 3 0
                                    

(1)
Siang tadi, tidak ada hujan yang mengiringi perjalananku ke bandara. Hujan tidak jua menghambat penerbangan yg sudah terjadwal dengan rapi. Mentari memang terlihat sedang riang. Namun, entah mengapa hatiku masih juga mendung. Hampir saja hujan turun dari pelupuk mataku.

(2)
Biasanya, hujan akan dengan tega membasahi seluruh kota—atau setidaknya di tempatku berada—saat aku sedang dalam perjalanan ke bandara. Ah, hujan memang senang bercanda. Sayangnya, candaan itu tidak tepat waktunya. Hanya semakin mendramatisir suasana hati yang sedang mencobRa mengikhlaskan sebuah kepergian.

(3)
Hujan memang sudah lama tidak menunjukkan aksinya. Pun kali ini, ketika aku dalam ritual keberangkatan ke bandara. Mentari tak segan tersenyum riadng, tak ada tanda-tanda akan hujan. Namun, hujan menggenang di pelupuk mataku. Menyesakkan dadaku oleh rindu. Kepalaku mulai memutar kilas balik kisah itu. Hujan, merintikkan diksi yang kukira sudah mati.
Kepadamu yang tak akan pernah mdeeq embaca ini, aku pamit. Aku pamit dari hidupmu, juga perasaanmu. Mungkin angin akan berbaik hati mengantarkan segelintir kalimat perpisahan ini. Kuharap, Dia selalu menjagamu. Dan kau selalu bahagia bersama dia.
Untuk yang terakhir kali, aku pamit.

-wardahmzsy

31/07/18

UTOPIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang