BAGIAN 7

37 15 8
                                    

"Lo nolak?!" sisil memekik. Begitu sadar masih ada Bu Set di depan, ia langsung membungkam mulutnya sendiri.

"Iyalah." Caca pura-pura mencatat apa yang ditulis Bu Set di papan tulis.

Duduk di bangku belakang membuat mereka bisa sedikit merasa bebas dari pantauan Bu Set. Kali ini Bab Peluang. Dan seperti biasa, Caca nggak paham.

Sisil meremas-remas setip miliknya, membayangkan kalau setip itu adalah Caca. Pagi ini Caca memberitahu ke Sisil tentang peristiwa tadi malam. Peristiwa dimana Geo minta balikan, tapi Caca malah nolak. Sisil geram. Sangat. Dia tidak pernah tau apa isi otak sahabatnya itu.

"Sabar. Sabar. Sabar." Sisil mengelus dadanya. Lalu mengambil bolpoin untuk mencatat, sambil bergumam. "Kalo nyesel rasain."

"Ih Sisil." Sungut Caca, menoleh sebentar ke Sisil dan mulai mencatat.

Belum juga menuliskan satu huruf, Caca sudah meletakkan bolpoinnya lagi. malas. Caca mana pernah nyatet? Dia selalu fotokopi milik Sisil, atau teman lain yang rajin.

"Bu, ijin ke toilet." Caca mengacungkan tangan.

Sisil memutar bola matanya. Dia hapal dengan semua alibi Caca saat di kelas. Menghindar dari pelajaran? Selalu. Caca melesat keluar setelah diijinkan oleh Bu Set.

Bu Set sudah selesai mencatat. Beliau duduk dan memerhatikan anak-anak lugu di depannya yang masih mencatat. Semua diam, suasana kelas menjadi damai seperti apa yang diharapkannya.

Beberapa saat kemudian, pintu kelas terketuk. Bu Set memicingkan matanya sebelum akhirnya bangkit untuk membukakan pintu.

"Selamat pagi, Bu." Seorang guru tersenyum ramah pada Bu Set. "Saya membawa siswa baru untuk kelas ini. Pindahan dari SMA Tunas Bangsa. Berprestasi dan tidak memiliki catatan pelanggaran apapun."

"Dari SMA Tunas Bangsa kenapa pindah kesini?" Bu Set mengerutkan dahi. Tangan kanannya mengelus dagu. Jelas beliau meminta penjelasan. Tak bisa dipungkiri bahwa SMA Tunas Bangsa tentu lebih bagus. Wajar, sekolah favorit. Tapi yang Bu Set pikirkan, kenapa anak yang katanya berprestasi mau pindah di sekolah yang tidak lebih unggul dari sekolahnya?

"Pengen ganti hawa, Bu." Jawab siswa itu ramah.

"Ganti cewek maksud kamu? hawa itu perempuan, kan? Kaum hawa gitu." Bu Set terkekeh. "Ya sudah, ayo silakan masuk."

Si guru tadi kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya. Bu Set dan siswa baru itu berdiri di depan kelas. Anak-anak di kelas tersebut sebagian masih ada yang mencatat, sebagian sudah tersenyum kagum melihat tampang si siswa baru.

"Perhatian, anak-anak." Titah Bu Set selalu menjadi titah yang tak terbantahkan.

Yang tadi masih mencatat, mendesah sebal dan menaikkan pandangan mereka. Lalu, mereka menampilkan reaksi yang cukup berlebihan. Mata kaum hawa sudah berbinar-binar, bak melihat pangeran dari kayangan jatuh tersesat di kelas itu. Sisil yang paling parah. Dia melotot ngeri.

"Perkenalkan diri kamu." kata Bu Set.

"Pagi, temen-temen. Nama saya Yudha Dana Algeo. Panggil saja Geo. Geo saja tanpa apapun. Bukan Geografi, Geologi, atau bahkan Geodoran." Cukup garing, tapi semua cewek di kelas itu tertawa, kecuali Sisil.

"Deodoran kali ah." celetuk salah satu dari mereka.

"Pacar, punya belum?" tanya cewek yang duduk di depan.

"Belum. Masih jubaidah, 'jomblo untuk urusan ibadah'." Sahut Geo yang lagi-lagi membuat mereka tertawa. "Kalau mau tanya-tanya, nanti aja pas jam istirahat."

"Silakan duduk di samping Afan, Geo." Tunjuk Bu Set ke bangku Afan yang kebetulan kosong. Dan lebih kebetulan lagi karena bangku itu bersisihan dengan bangku Sisil dan Caca.

Boys In ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang