BAGIAN 6

36 12 3
                                    


Pandangan Caca terfokus pada penampilan penyanyi single yang diundang Geo di kafenya.

Nobody said it was easy

It's such a shame for us to part

Nobody said it was easy

No one ever said it would be this hard

Oh take me back to the start

(Coldplay – The Scientist)

Caca dengan setelah casualnya terlihat menikmati penampilan si penyanyi. Tetapi, pikirannya tak senada. Mata ke depan, sedangkan otak berputar-putar mencari tau maksud Geo mengajaknya bertemu.

Semua sudah berakhir, seingat Caca. Dan itu nyata.

Setelah penampilannya selesai, Caca memberi standing applause pada si penyanyi. Saat itu juga, sebenarnya Caca ingin langsung lari. Mengingat posisinya yang sudah berdiri, gampang banget buat lari. Tapi, Geo juga pasti akan dengan gampang ngejar Caca. Langkah Caca nggak selebar langkah Geo.

"Ca, suka?" Geo yang sedari tadi cuma ngeliatin Caca sambil senyum-senyum, akhirnya membuka percakapan.

Caca duduk, mengangguk kaku, dan terpaksa tersenyum. "Suka, kok."

"I have a gift for you, Babe." Geo mengeluarkan kado yang sudah ia siapkan dan memberikannya pada Caca.

Ragu-ragu Caca menerima. "Apa nih?"

"Buka di rumah aja."

"Zayn kemana?" Caca selalu bisa mengubah topik pembicaraan.

"Udah pulang. nggak usah bahas Zayn." Geo meraih tangan Caca, menatapnya lekat dan tersenyum. "Gue mau ngomong. Penting."

"Ngomong aja, Ge." Katanya, membantah pada hatinya yang makin tak karuan.

"Disana boleh?" tunjuk Geo ke panggung kecil depan.

"Jangan!" jawab Caca cepat. Reflek tangannya mengeratkan genggamannya ke tangan Geo.

Geo tersenyum melihat Caca yang mukanya sudah memerah. "Bercanda doang."

"Nggak lucu." Sungut Caca.

Sejenak mereka diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Caca nggak berani lihat Geo. Sementara Geo di depannya, tak pernah mengalihkan pandangannya. Sebentar pun tidak.

"Ca," suara lembut itu kembali merasuki gendang telinga Caca.

Caca membeku. Mungkin Geo bisa merasakan tangan Caca yang mulai dingin di genggamannya.

"Jadi pacar gue yang kedua, mau?"

Kaget. Sadar. Rancu. Ambigu.

Caca mengerling cepat. Bukannya Caca nggak mudeng, dia hanya ingin meluruskan apa maksud Geo. "Maksudnya, gue jadi selingkuhan lo?"

Pertanyaan Geo, saat terekam di otak Caca, terbaca seperti Geo menawarkannya untuk menjadi yang kedua atau sejenis simpanannya. Kayak, 'jadi istri saya yang kedua, mau?'

"Bukan. Maksud gue, jadi pacar gue buat yang kedua kalinya." Geo terkekeh. "Beberapa hari lalu, lo mutusin gue. Jadi, sekarang gue nembak lo lagi. gue nyatain lagi perasaan gue ke lo. gue nggak tau alasan lo mutusin gue itu apa. tapi dari kejadian kemarin, gue mau belajar buat memperbaiki apapun yang menurut lo salah. Ca, give me the decission tonight."

"Gue mau fokus belajar, Geo." Lagi dan lagi. saking buntunya otak Caca.

"Nggak ada yang salah dengan keputusan lo itu. tapi, gue harus nolak dan minta penjelasan." Geo berdehem. "Selama gue pacaran sama lo, gue nggak pernah kehilangan waktu belajar gue, nilai gue nggak pernah anjlok, dan gue masih bisa membagi waktu gue buat belajar dan buat jalan sama lo. gue bisa lakuin itu, Ca. Fokus belajar itu bukan alasan yang ideal, menurut gue."

"Gue ini Caca, Ge. Gue bukan lo. Gue Caca, cewek yang nggak bisa memfokuskan satu pikirannya untuk dua hal secara bersama. Lo emang bisa pacaran sambil belajar, tapi gue nggak bisa. Semua orang juga tau kalau gue bego. lo pinter, jangan nyamain kemampuan gue sama kemampuan lo."

"Nggak gitu maksud gue, Ca. Gue mau balikan sama lo, belajar bareng lo, ngajarin lo, lakuin apapun buat lo. Gue bisa."

"Lo bukan babu gue, kan,Ge? Jadi, itu semua nggak perlu."

"Ca, please."

Caca menarik tangannya dari tangan Geo. "Sori, Geo. Gue nggak bisa."

Caca berlari keluar setelah mengucapkan kalimat sakralnya. Entah, darimana dia bisa ngomong gitu ke Geo. Nolak lagi. mungkin, alasan Caca memang kurang meyakinkan untuk Geo. Dan mungkin, bosan juga bukan alasan yang paling kuat untuk Caca. Hah, Caca sendiri bingung.

Caca berjalan meninggalkan kafe. Geo nggak kelihatan pengen ngejar Caca. Dia masih duduk disana, menunduk, dan membiarkan perasaannya yang mulai terluka.

Caca di bawah temaram lampu jalan, menunggu taksi untuk mengantarnya pulang. pikirannya masih buram. Is it will be alright?

~*****~

"Eh, gue masih nggak percaya kalo Hasan bisa jadi pacarnya Yayas." Fernando geleng-geleng kepala sembari terus manatap layar handphone yang terpampang foto yayas dan Hasan di instagram.

"Eh buset, dari jaman kapan yang diomongin Cuma Yayas mulu." Gerutu Ian.

"Yayas siapa, Yan?" Saka dan Robin menatap ke Ian serius, menuntut penjelasan. Maklum, mereka tidak satu sekolah dengan Fahad, Ian, dan Fernando.

"Adek kelas yang cwakep bwanget. Beruntung Hasan bisa dapetin dia." Ian melirik ke Fernando yang sekarang sudah berganti posisi, telentang sambil terus mainin hp. Si maniak benda kotak. Pantas kalo minusnya nggak turun-turun.

"Fernando suka sama Yayas?" Robin ikut telentang di samping Fernando.

"Amit-amit jangan sampe. Musibah, tuh. Yayas jangan sampe jadi pacar si tukang pijit hp. Kasian."

"Iri bilang." Sengal Fernando pada Ian.

"Yee.. kagak."

"Terus kalo nggak suka, kenapa lo kayak nggak trima gitu? Ngapain juga lo harus pusing-pusing gosipin mereka?" Saka bertanya pada Fernando. Ia merubah posisi duduknya, bergeser sedikit ke Ian di pojok belakang sebelah kiri, gazebo rumah Fahad.

"Biasa, biang gosip ya apa-apa dinyinyirin. Kayak nggak paham aja." celetuk Ian yang kali ini mendapat balasan kaki kanan Fernando.

"Bau!" Ian menangkis kaki Fernando. "Dasar Curut!"

Saka, Fernando, dan Robin tertawa melihat ekspresi konyol Ian yang menutup lubang hidungnya dengan telunjuk dan jari tengahnya. Padahal seingat mereka, tangan Ian masih sedikit ada cabe-cabenya berkat cemilan yang disediakan Fahad.

Sementara Fahad asyik sendiri dengan dunianya. Daritadi cowok itu hanya diam. Seakan-akan nggak ada siapapun di depannya. Dahinya berkerut dan matanya yang memicing, fokus pada layar handphone-nya. Dia bersila di sudut kanan gazebo rumahnya. Gazebo itu memang sudah menjadi istana mereka sejak mereka saling kenal dan merasa asyik.

Melihat Fahad yang sok serius, keempat temannya hanya bisa saling menatap dan menggelengkan kepala. Di otak mereka langsung tercetak satu naman, "Fahad."

Ian mendecih. Pantas, minusnya nambah. Si maniak hp nomor dua setelah Fernando. Fahad dengan segala kesibukannya di balik layar handphone.

~*****~


For all of the times you've given to read this story, I say 'Thank you so much' ^_^

Yeaaayyyy.



Boys In ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang