Week end tiba!!! Horeee!!!
Sayangnya bukan berita bagus untuk Pai. Ia harus lembur untuk menyelesaikan proyek rekrutmen besar lainnya yang sudah menunggu dijamah. Pai membawa pulang setumpuk laporan hasil skoring beberapa instrumen psikotes. Ia akan merapikannya di rumah.
Pai berjalan lunglai menuju parkiran motor. Lalu ia bersiap untuk menaiki motor matic kesayangannya sejak awal bekerja.
Pai mengendarai motor dengan mantab walau badannya terasa pegal semua. Ketika dia hendak mengambil lajur kanan, mendadak saja sebuah mobil melesat dari belakang, menyalipnya. Pai terhuyung hampir saja jatuh.
“Anjiss!!” omel Pai seketika. “Punya mata nggak, sih?!!” imbuhnya.
Pai mengomel sendiri sementara mobil itu terus melaju berbelok ke kanan berhenti sejenak di portal pintu keluar kompleks perkantoran Taman Permai. Pai tertegun setelah dari kejauhan ia tahu warna mobil itu. Pai yakin ia tak salah lihat dan ingat. Itu mobil Robin. Hati Pai menciut. Kenapa Robin bisa bertindak begitu? Sebenarnya apa sih, salahnya pada Robin sampai-sampai pria itu tidak menyukainya? Kenapa Robin dan Medi begitu berbeda? Karena Medi kawan Pai sejak SMP. Itu jawaban paling rasional yang muncul dari otak Pai.
Pai sampai di rumah dengan mood yang keruh. Pikirannya sudah butek karena pekerjaan eh, ditambah mendapat perlakuan Robin yang sengit begitu. Mana tadi bisa banget merugikan Pai secara fisik, lho. Kalau saja Pai tidak ingat Robin itu siapa, pasti mati-matian Pai mengejar orangnya. Sayangnya itu Robin. Orang yang sekalipun membuatnya jengkel minta ampun sampai ke ubun-ubun, Pai tetap tak bisa marah-marah padanya.
“Fai, makan dulu, Nak. Bunda masakin kamu tumis kacang panjang sama tempe kesukaanmu, lho,” ujar Bunda mendekati Pai yang duduk di atas sofa ruang tamu sembari kakinya selonjoran di karpet.
Pai menoleh ke arah Bunda yang duduk di sebelahnya.
“Fai nggak laper, Bunda. Fai mau langsung mandi terus tidur. Besok pagi-pagi buta mau ngebut nih,” Pai menggerakkan tas ranselnya yang ada di sebelah ujung kaki kirinya.
Bunda menarik napas.
“Kerja sih, kerja, Fai tapi jangan lupa makan. Bunda telepon Medi aja ya, biar kamu mau makan?” goda Bunda.
“Bunda,” Pai langsung memotong. “Fai bukan anak kecil lagi. Lagian kenapa sih, apa-apa selalu Medi? Medi juga punya urusan sendiri kali, Bund. Dia sekarang arsitek banyak tender. Sibuknya amit-amit. Kasihan kan, kalau urusan begini aja Medi repot juga.”
Bunda tersenyum simpul. “Habis kamu susah makannya. Dari dulu pilih-pilih makan. Mending pilih-pilih makan, bisa jadi seharian males makan. Sedangkan Medi kan, suka makan. Kamu mau makan kalau dibujuk Medi. Lagian Medi itu sudah kayak anak laki-laki Bunda. Kayak kakakmu sendiri. Dia yang selalu jagain kamu.”
Suasana hening sejenak.
“Apa...” Bunda hendak bicara tapi sedikit ragu.
“Apa apanya Bunda?” tanya Pai penasaran.
“Apa kalian nggak kepengin hubungan kalian berlanjut serius?”
Posisi duduk Pai tambah merosot.
“Ampun deh, Bunda ini... sudah berapa kali Fai bilang, Fai sama Medi itu teman baik, sudah kayak saudara. Masa’ kita mau inses?”
Bunda mengusap pundak Pai. “Semoga bukan karena ayahmu kamu jadi enggan menjalin hubungan sama lelaki. Jangan tutup hati kamu buat lelaki, Nak.”
Pai mulai serius menanggapi omongan Bunda. Ia membenahi posisi duduknya menjadi lebih tegap.
“Ini nggak ada hubungannya sama Ayah, Bund. Tapi aku sama Medi murni temenan. Nggak lebih. Lagian sekarang dia juga sudah punya tambatan hati. Temen sekantorku. Asisten kakaknya sendiri. Ceritanya mereka berdua rebutan cewek, Bunda,” ujar Pai lama-lama suaranya bernada putus asa bercampur sewot.