BAGIAN 11

290 20 0
                                    

Pai masih berhubungan dengan Herdi semenjak malam itu. Tapi Pai belum mengonfirmasi kebenaran informasi dari Erika. Pai ragu, etis tidak ya kalau baru mengenal Herdi, Pai menodong Herdi dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan masa lalu? Lagi pula menurut Bunda, Pai harus bisa memutuskan sesuatu dalam kondisi pikiran yang jernih bukan justru disertai emosi. Maka dari itu Pai terus menimbang-nimbang lagi keputusan yang hendak ia ambil.

Pikiran Pai butek sebutek-buteknya. Pekerjaan mengejar setiap hari, proyek besar maupun kecil bercampur menjadi satu dengan permasalahannya dengan Herdi. Oh, bukan, tapi dengan dirinya sendiri. Pertentangan batin terhadap ucapan Erika dan kecurigaan kepada wanita itu, menguras emosi Pai. Di sisi lain Pai tidak punya masalah apa pun dengan Herdi. Tapi dirinya ingin tahu kebenarannya. Lalu setelah itu?

Kalau benar, nggak masalah. Toh kita hanya berteman.

“Pai, aku balik duluan, ya? Kamu nggak balik? Tuh wajah kecapekan banget kayaknya. Pulang gih!” kata Vika, teman sebelahan kubikel Pai.

Pai menoleh lemah ke arah Vika yang berdiri di balik dinding kubikelnya.

“Iya, ini sedikit lagi bikin laporan. Sekalian, biar di rumah tinggal tidur.”

“Kamu ini ya udah masuk kategori konsultan senior tapi masih kerja rodi aja. Suruh anak-anak bau kencur kenapa?”

Pai tersenyum lemah namun lebar.

“Departemen kita kan, emang selalu kerja rodi. Nggak pandang bulu jabatannya, Vik. Kamu rasa sendiri, kan?”

Vika cengengesan. “Tapi santai dikitlah, Pai. Jangan diforsir banget-banget. Ayo pulang!”

“Duluan aja, Vik. Dikit lagi.”

“Okelah kalau gitu. Ati-ati ya, Pai. Malam, Pai,” ucap Vika melambaikan tangan.

Pai membalasnya dengan anggukan. “Bye, Vika.”

Pai menarik napas dalam dan panjang lalu menggeliat, merenggangkan keseluruhan otot tubuhnya. Dia lelah. Fisik dan pikiran.

Tok. Tok.

Suara kubikel Pai diketuk. Pai terkaget. Ia memutar kepalanya cepat.

“Robin, ngagetin aja,” protes Pai seraya tersenyum lebar.

“Boleh duduk?” tanya Robin melirik ke kursi di belakang Pai.

“Oh, silakan.”

Pai menyeret kursi itu lalu menyodorkannya kepada Robin. Mereka berdua duduk di dalam kubikel Pai.

“Ada apa, Rob? Tumben kamu mampir ke sini.”

Robin menepuk kecil kresek putih yang sudah ada di tepi meja kerja Pai.

“Pasti belum makan, kan? Aku bawain nasi sama paha ayam krispi kesukaanmu.”

Pai terpaku sesaat. Robin menghampirinya dan membawakan makan malam favoritnya? Mimpi apa Pai semalam?

“Kita makan sebentar nggak pa-pa, kan?” tanya Robin.

“Ki-kita?”

“Aku beli dua porsi tadi.”

“Bol-boleh banget, Rob.”

Pai gelagepan. Salah tingkah. Malam ini adalah keajaiban di antara ribuan malam yang telah ia lewati untuk memikirkan Robin.

Robin membuka kresek itu dan mengambil sekotak nasi untuk Pai. Mereka berdua makan bersama.

“Sejak kapan kamu suka makanan begini, Rob?” celetuk Pai mencoba melumerkan suasana.

BERGANTI HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang