Pai mulai tidak peduli dengan Erika, Robin apalagi Medi. Komunikasi dengan Medi juga semakin jarang. Sekali komunikasi lewat ponsel juga soal yang terkesan formal. Seperti ini: Medi sibuk karena kantornya mendapat tender-tender besar pendesainan kantor di kawasan elit. Maka dari itu ia juga jarang mengajak Pai makan siang padahal kantor mereka hanya beda lima bangunan di kompleks Taman Permai. Pai juga tahu Robin dan Erika sudah aktif di kantor seperti biasa. Pai, Medi, Robin dan Erika sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi Pai... dia punya penawar rasa sakit yang dialaminya beberapa hari lalu: Herdi.
Herdi mendapat perpanjangan waktu bekerja di Surabaya sekitar dua minggu. Ia jadi lebih punya cukup banyak waktu bersama dengan Pai. Pai sendiri sudah pernah mengajak Herdi bertemu Bunda week end kemarin. Herdi dan Bunda cepat akrab. Syukurlah. Eh, Pai bukan ada tendensi khusus ya, tapi ia selalu senang kalau teman-temannya bisa dekat dengan orang terkasihnya. Bunda itu orangtua tunggal untuk Pai dan ia sangat ingin siapa pun yang datang dalam kehidupannya juga bisa mengenal dan menerima Bunda, orang yang selama ini menjaganya. Pai tak pernah menceritakan tentang ayahnya kepada orang lain kecuali Medi. Medi tahu rahasia ayah Pai tapi di luar Medi dan Bunda, orang lain hanya tahu bahwa ayah Pai meninggal. Titik. Kalau tetangga sih, tahunya Bunda dan Ayah bercerai tapi tidak tahu kalau Ayah pergi dengan istri keduanya dan mencampakkan Bunda dan Pai.
Hari-hari Pai ke depannya diisi oleh Herdi. Hampir setiap hari Herdi menjemputnya di kantor. Pai menikmati ini. Herdi menyenangkan dan bisa menyembuhkan sakit hati Pai. Tapi Pai melupakan sesuatu. Seringnya Pai bercerita jika ia dekat dengan lelaki kepada Medi. Kali ini tidak. Tidak begitu penting juga. Medi punya urusannya sendiri. Pun Pai. Sudah waktunya Pai dan Medi jalan dengan jalannya masing-masing seperti pesan Robin dulu. Jika memang seperti adik berlaku wajarlah seperti adik, jangan beromantis ria seperti orang pacaran. Pai mencoba mengulang poin pesan Robin meskipun tak sama persis. Ribet ya, kalau hidup kita ini mendengarkan ocehan orang lain yang bahkan nama lengkap kita saja tidak tahu tapi berani-beraninya menuduh kita begini dan begitu. Ya itulah manusia. Suka berkomentar. Sayangnya, tidak semuanya worth.
Mulanya Pai menganggap omongan Robin angin lalu tapi keadaan juga yang membuatnya mengerti. Bukan karena siapa Robin selama ini tapi memang benar kalimat yang diucapkannya. Dia tidak bisa selamanya nempel dan bergantung pada Medi walaupun mereka bersahabat lama dan sudah seperti saudara. Pai harus jalan pada track-nya sendiri.
Namun... hati Pai tak bisa berbohong. Medi terlalu banyak dan lama mengisi kehidupannya. Ia tak bisa membuang Medi begitu saja dari pikiran dan hatinya. Ia rindu bersama Medi. Gelak tawa dan kekonyolan Medi membuat Pai merasa lebih hidup. Bersama Herdi juga tapi masalahnya Medi itu unik, langka. Spontanitasnya selalu segar. Dia ingat ketika Medi mendadak cerita tentang sejarah namanya Median. Itu karena ia lahir di Dubai ketika mendiang papinya bekerja di sana. Dubai letaknya di timur tengah. Orangtuanya mengambil kata “tengah” yang akhirnya menjadi median.
“Jadi Pai, kita itu sebenernya sodaraan jauh. Bukan karena Nabi Adam tapi karena kamu keturunan Arab trus aku lahir di Dubai. Kita samaanlah. Masih ada hubungannya. Sama-sama ada unsur timur tengah-nya,” oceh Medi kala SMA.
“Yee... sukanya ngait-ngaitin, deh!”
“Eh, tapi seru kali ya, kalau wajah buleku ini agak ketimur-tengahan gitu. Dikira kita berdua sodara beneran.”
“Ngareeeppp.”
Lalu Medi juga bercerita alasan ia diberi nama “Median”. Sebab waktu itu maminya melahirkan bersamaan dengan dua orang lain asli Arab dan Perancis. Maminya di ranjang yang tengah. Berhubung anak dari wanita yang ada di sebelah kanan maminya dinamai “West” dan yang sebelah kiri maminya disebut “East”, jadilah Medi diberi nama “Middle”. Karena “Middle” terdengar aneh, lebih keren kalau dipanggil Median. Kemudian Medi berkelakar sendiri. Aslinya istilah arah mata angin itu sebutan dari para suster untuk membedakan para bayi lelaki yang lahir hampir bersamaan itu.
“Silakan saja you ketawa, Pai. Tapi papi itu gokil minta ampun. Begitulah almarhum memberiku nama,” ujar Medi.
Pai tersenyum manis mengingat memori bersama Medi. Ternyata lama-lama jauh dengan si lelaki paling hore itu anyep, hambar aliasnya – seperti istilahnya Medi.
“Pai, kok, senyum-senyum sendiri?” tanya Herdi ketika jam makan siang kantor.
Herdi memiliki waktu jam istirahat kantor lebih lama dibanding Pai sehingga sempat menyetir sepuluh menit mobilnya dari kantornya ke Rajendra and Associates. Kali ini Herdi dan Pai makan di food court Ciworld[1]. Tak jauh dari kompleks Taman Permai.
“Eh, nggak pa-pa, kok,” balas Pai.
“Kamu mesti coba nugget jamur ini, Pai. Enak, lho. Nggak kalah sama nugget daging. Kamu doyan jamur, kan?”
Pai mengangguk. Ia doyan jamur yang sudah diolah dalam bentuk gorengan, lebih tepatnya. Kalau ditumis, dimasak kuah, silakan bergeser ke piring yang lain saja. Kali ini Pai mau mencoba jamur yang sudah diolah menjadi nugget.
“Enak?” tanya Herdi ingin memastikan.
“Iya, enak. Unik, ya?”
“Kamu belum pernah coba, ya?”
Pai menggeleng. “Belum.” Lalu terus mengunyah nugget jamur tersebut.
“Temen kuliahku dulu sudah bikin usaha nugget jamur sejak tahun lalu Pai. Sudah mulai ngetren kok, sekarang. Sekarang kan, banyak olahan yang sebelumnya bahan dasarnya daging diganti ke sayuran dan buah. Dengan begitu kamu bisa lebih doyan sayur, Pai. Kan, sayuran itu bikin sehat. Kasihan anak-anakmu nanti kalau mereka sama nggak doyan sayurnya kayak maminya, hehehe,” celoteh Herdi sambil nyemil nugget jamur yang sudah digoreng.
“Visioner banget ya, kamu, Her?” seloroh Pai tersenyum lebar.
“Iya, dong. Lelaki mature harus gitu.”
“You just saying you are mature, aren’t you? Oh, my God, aku harus jatuh cinta sama kamu kalau begitu, haha-haha-haha.” Pai bercanda terbahak.
Herdi menyambutnya dengan tawa pula.
“Tapi aku jatuh cinta beneran kok, Pai, sama kamu,” kata Herdi telak membuat Pai memusnahkan tawanya seketika.
Sedetik. Dua detik. Pai memandangi Herdi tanpa bisa ditebak maksudnya.
Detik berikutnya terdengar Pai terkekeh. “Terima kasih lho, Her. Bisa aja kamu bercandanya.”. Ia berusaha untuk menetralisir kecanggungan yang sebenarnya melingkupi diri secara mendadak.
Tak ada balasan dari Herdi.
Lalu, “Ah, iya ya, aku aktingnya bagus, ya? Hehehe,” ujar Herdi mengimbangi candaan Pai.
Well, kecanggungan di antara keduanya melumer.
What the hell. Pai bukannya tersanjung ditembak Herdi – entah tadi itu serius atau tidak – tapi yang pasti kalau memang benar, Pai benar-benar warmless dengan perasaan Herdi. Ia hanya menganggap Herdi teman, sama dengan Medi. Medi lebih istimewa sedikit, sih. So selama ini Pai hanya suka saja dengan Herdi. Tidak lebih.
*
Herdi dan Pai berjalan keluar dari gedung Ciworld.
“Nanti aku jemput ya, Pai?”
“Iya, iya. Kamu kan, udah bilang kemarin mau jemput aku jadi ya aku nggak bawa motor. Jangan lupa lho ya, nanti,” sahut Pai nyengir.
“Tentu.”
Mereka berdua naik Honda CR-V Prestige menuju kantor Pai.
“Sampai nanti ya, Pai!” ucap Herdi sambil melambaikan tangan dari balik kemudi setelah sampai di area parkir Taman Permai.
Pai membalasnya dengan mengangguk seraya melambaikan tangan tak jauh dari mobil Herdi. Usai Herdi pergi, Pai berjalan ke arah lobi.
Di sana ia berpapasan dengan Erika. Pai diam pura-pura tak melihat. Padahal Erika sudah melempar senyum padanya. Ini mungkin tindakan paling kekanak-kanakan yang dilakukan Pai tapi sudah kepalang tanggung. Pai bukan benci pada Erika, sakit hati juga sudah mereda tapi rasa malas berinteraksi dengan wajah-wajah lawas yang pernah membuat hidupnya tidak nyaman tidak bisa ditolak. Malas ya malas. Titik.
*
[1] Ciputra World