Pai bertemu dengan Herdi dua hari kemudian sepulang dari kantor. Seperti biasa, Herdi menjemput Pai. Rencananya mereka mau mengobrol serius seperti yang dijanjikan Pai sekaligus nonton berdua.
“Gimana Pai, masih aktif di gym?” celetuk Herdi dalam perjalanan menuju ke Grand City Mall.
Pai meringis seraya menggeleng pelan.
“Lho kok, gitu?”
“Nggak ada kamu jadi nggak asyik, sih.”
“Masa’?”
“Iya, soalnya temen-temenku juga nggak ada yang nge-gym. Aku sendiri aslinya geli ke gym karena mau nggak mau pasti liat para lelaki dengan badan kingkong eh, maksudku terlalu kekar. Geli, hiii...”
Herdi terkekeh. “Ya ampun sampai segitunya sih, Pai?”
Pai mengangguk cepat. “Nggak tahu, geli aja,” pungkas Pai santai.
“Eh, aku belum kenal sama temen-temenmu, ya?”
Pai terkesiap. O-ow...
“Emm...” Pai menyisir rambut potongan bob-nya lalu diselipkan ke balik telinganya. “Kapan-kapan aku kenalin.”
Pai berbohong. Ia sama sekali tak punya ide untuk mempertemukan Herdi dengan Medi, Robin bahkan Erika. Sekarang Pai menganggap Robin dan Erika teman dekatnya juga.
Herdi mengangguk tersenyum.
*
Acara nonton batal karena Pai meminta waktu lebih kepada Herdi untuk bicara berdua. Karena pembahasan kali ini memanglah serius dan Pai ingin membicarakannya dalam situasi senyaman mungkin, mereka memilih ke restoran yang tak terlalu bising. Mereka menghindari area food court.
Usai memesan makanan kemudian tak berselang lama makanan dan minuman datang, mereka memilih menghabiskan makanan itu terlebih dahulu.
Dirasa sudah punya tenaga untuk bisa bicara dengan tenang dan nyaman, Pai mulai membuka topik percakapan.
“Herdi, aku minta kamu jujur sejujur-jujurnya ke aku. Aku minta maaf kalau aku lancang tapi aku butuh kejelasan supaya tidak ada fitnah atau menimbulkan situasi yang tidak nyaman antara aku dan kamu.”
“Kenapa, Pai?”
“Kamu menganggapku teman, kan?”
“Tentu. Bahkan lebih.”
Pai menarik diri dari posisi duduknya yang sebelumnya condong ke arah Herdi. Lalu kedua pangkal alisnya bertautan.
“Aku sudah pernah bilang, kan? Aku jatuh hati sama kamu, Pai.”
“Herdi...” Pai tak sanggup berbicara apa-apa.
“Masalahnya kamu menganggapku teman. Aku bisa apa? Tapi aku serius dengan perasaanku, Pai. Aku cinta sama kamu.”
Pai menelan ludah. Ia jadi tidak tahu harus memulai info Erika dari mana.
Pai mengembuskan napas keras. Mendesah. Bukan kesal, bukan lega. Ia sendiri tak tahu apa. Ia tercengang ternyata Herdi benar-benar mencintainya.
“Aku... aku terima kasih sekali, Her. Tapi seperti yang kamu tahu, aku memang menyukaimu tapi cukup sebagai teman. Aku minta maaf.”
“Nggak masalah, Pai. Setiap orang berhak memberikan respon apa pun terhadap pernyataan cinta orang lain.”
“Tapi kenapa kamu masih peduli sama aku?”
“Aku masih berharap menemukan celah masuk ke dalam hatimu.”