Life must go on. Prinsip Pai dalam menjalani hidup. Yang sudah terjadi biar saja terjadi. Pai juga tak pernah menyesali yang telah terjadi. Perihal asmara – kenapa beberapa waktu ini Pai sering memikirkan kisah cintanya, sih? Atau memang sudah waktunya Pai lebih serius memikirkan jodoh? Artinya dia harus berpindah ke lain hati? Kan, Robin sudah punya Erika – Pai sudah pasrah. Ia tak akan menahan lagi cintanya tapi juga tak memaksanya untuk keluar begitu saja supaya Robin tahu. Mungkin Robin bisa jadi oksigen sekaligus karbondioksida secara bersamaan untuknya – melegakan sekaligus menyesakkan – tapi Robin bukan satu-satunya alasan ia hidup. Pai menyadari ini setelah merenungkan kejadian tempo lalu di rumah Robin. Sudah waktunya ia menata kehidupannya sendiri. Memikirkan masa depannya sendiri walau belum bisa sepenuhnya melepaskan diri dari bayangan Robin tapi Pai akan terus melaju. Biar waktu yang melenyapkan cintanya pada Robin seperti dulu waktu juga yang memulainya.
*
Pai mendapat proyek rekrutmen ke Makassar untuk seminggu ke depan. Kesempatan ini juga ia manfaatkan untuk menyibukkan diri sekaligus menyegarkan pikiran dari Robin. Dan benar, Tuhan mengabulkan isi pikiran Pai. Bahkan lebih dari ekpektasinya.
Pai terpesona dengan manajer Human Resources Development (HRD) perusahaan klien. Matang, gagah dan memikat. Sebelas dua belas dengan Robin. Aisshh, Robin lagi! Tapi serius. Hanya saja yang ini “selera” asli Indonesia, lebih ramah dan tak pernah membuat canggung.
Herdianus. Single. Mapan. Bersahaja. Seiman. Most wanted untuk banyak perempuan. Bahkan untuk perempuan yang baru kenal seperti Pai. Dan beruntungnya Pai membuat iri seluruh perempuan yang bekerja dalam proses perekrutan ini karena Herdi – demikian panggilannya – lebih memilih intens berinteraksi dengan Pai, bukan hanya urusan profesional mengingat Pai adalah PJ perekrutan calon karyawan anyar perusahaan Herdi bekerja tapi juga di luar itu. Herdi mengajak Pai makan berdua barang hanya sebentar usai bekerja. Ketika akhir pekan sehari sebelum Pai dan kawan-kawan pulang ke Jawa, Herdi mengajak kembali Pai pergi berdua lunch bareng (sepertinya Pai menemukan versi lain Medi, lelaki tukang makan tapi bodinya selalu kece) lalu ke pasar tradisional setempat untuk membeli oleh-oleh. Herdi membelikan Pai gelang manik-manik cantik. Pai memakainya sampai pulang ke Jawa dan berhari-hari berikutnya.
Pai berpikir bahwa bahagianya mengenal Herdi bahkan komunikasi yang terjalin dengan Herdi sebulan terakhir pasca pekerjaan di Makassar itu berbeda dengan bahagianya bisa hang out bareng dengan Medi atau jatuh cinta dengan Robin dari waktu ke waktu. Dengan Herdi, Pai merasakan angin segar dan penuh semangat menggelora. Energi untuk menjalani hidup lebih hidup. Serius. Semacam Pai merindukan situasi ini sudah lama. Apa pun istilahnya dalam bahasa psikologi yang mencerminkan bahwa Pai mungkin butuh suasana baru tentang hubungan lawan jenis di luar Medi dan Robin, yang penting Pai senang bisa mengenal Herdi. Titik. Pai kasmaran? Bisa jadi. Tapi jujur saja, perasaan kasmaran kali ini – jika memang begitu – jauh berbeda dengan yang terjadi terhadap Robin. Pai berdecak lidah. Robin lagi, Robin lagi. Eh, apa kabar Medi, ya?
Setelah dari Bali, Medi sempat pulang sekitar semingguan ke rumah lalu pergi ke Lombok lalu ke Singapura lalu entah sekarang ke mana.
“Tumben Medi nggak kasih-kasih kabar. Telpon, ah,” gumam Pai sambil bersandar di kursi coffee shop seperti biasa.
Terdengar nada sambung tut-tut sebelum suara Medi terdengar. Begitu suara Medi muncul, Pai kegirangan.
“Hei, Brad, ke mana aja? Meet up, yuk. Ini aku lagi di coffee shop biasa,” kata Pai.
“Hai, Pai! Sori ya, akhir-akhir ini aku repot banget jadi jarang bisa ngehubungi kamu dan ketemuan,” kata Medi. “Sekarang aku lagi di rumah sakit, Pai. Erika sakit.”