Jalan Raya Darmo, Car Free Day (CFD).
Pai dan Herdi janjian bersepeda pada Minggu pagi. Pai masih mau berhubungan dengan Herdi. Bukan dirinya yang bermasalah dengan Herdi tapi Erika. Dan sampai detik ini mereka bersepeda bersama dari rumah Pai – Herdi menitipkan mobilnya di rumah Pai – ke Jalan Raya Darmo, Herdi tidak menimbulkan masalah untuk Pai. Jadi Pai tidak perlu risau untuk berhubungan dengan Herdi. Soal perasaan Herdi – yang entah gimana nasibnya setelah dicecar Erika kapan hari itu, Pai tahu ini dari Medi – Pai juga tidak masalah. Setiap orang berhak untuk mencintai orang lain tapi juga harus mau menanggung segala konsekuensinya, termasuk ditolak sekalipun. Atau bahkan digantung seperti dirinya dengan Robin. Setidaknya Robin sedang memberikan harapan kan, beberapa waktu terakhir? Ah, tapi Pai tak mau terlampau besar hati. Siapa tahu tiba-tiba Robin “membantingnya” seperti beberapa waktu lalu.
Ingat, ada Erika, Pai!
“Habis ini cari sarapan pecel yuk, Pai!” ajak Herdi ketika mereka sedang duduk-duduk di trotoar setelah beberapa saat di CFD.
Pai menggeleng. “Aku nggak biasa sarapan. Paling nyemil gorengan pas barusan jam kantor masuk atau bubur jam sembilan gitu. Ini juga masih jam setengah tujuh.”
“Sarapan itu penting lho, Pai.”
“Tahu, Her. Tapi aku nggak biasa.”
Herdi mengangguk mencoba memahami Pai.
“Pai,” panggil Herdi.
Pai menoleh segera kepada Herdi. “Ya?”
“Soal malam itu, aku minta maaf.”
“Kenapa minta maaf?”
“Ya aku nggak jujur sama kamu.”
“Soal kakaknya Erika?”
Herdi kembali mengangguk.
“Itu kan, masa lalu kamu, Her. Aku juga nggak berhak ikut campur. Selama kamu baik sama aku, aku juga baik sama kamu. Itu prinsipku, Her. Jadi tenang aja,” ujar Pai santai.
“Thanks, Pai.”
“Sama-sama,” sahut Pai seraya menyelonjorkan kaki di aspal jalan. “Setiap orang punya masa lalu, Her. Kalau kamu memang nggak mau berbagi dengan orang lain, nggak masalah. Masa lalu biar jadi memori pelajaran yang bisa kita buka sewaktu-waktu. Masa lalu itu memang nggak bisa diubah tapi dia itu sejarah yang membentuk kita seperti sekarang ini. Yang penting sekarang hidup kita saat ini dan ke depannya. Itu kata Bunda sih, tapi aku percaya,” jelas Pai mencoba meyakinkan Herdi bahwa dirinya tak masalah dengan masa lalu Herdi.
“Ini yang bikin aku salut sama kamu, Pai. Nggak salah kan, kalau aku jatuh cinta sama kamu?”
Pai mendadak tertawa. “Ya enggaklah, Her. Itu hak kamu. Tapi aku juga punya hak kan, atas semua respon yang bisa aku berikan?”
“True.”
“Terus gimana Erna dan anakmu? Apa yang bakal kamu lakukan? Kamu nggak akan lari lagi, kaaaann?” tanya Pai dalam nada menggoda. Ia ingin bicara dengan Herdi dalam keadaan yang tetap santai.
“Aku bakal menemui mereka dalam waktu dekat, Pai. Aku sudah memikirkan semuanya selama bertahun-tahun pindah ke Makassar. Aslinya aku nggak melarikan diri, aku tetap membiarkan mereka menghubungiku tapi jawabanku aku belum mau menikah. Tapi mereka punya persepsi sendiri,” tutur Herdi. “Aku terus mengikuti perkembangan Zidan dari kawanku di sini. Erna resign setelah kejadian malam itu denganku. Tapi kawanku masih tahu informasi tentang Erna walau bukan dari Erna langsung. Dari proses dia hamil, melahirkan sampai merawat Zidan. Aku pun mengalokasikan gajiku untuk Zidan. Diam-diam lewat temanku. Bagaimanapun dia darah dagingku dari wanita yang pernah aku cintai. Hanya saja selama ini aku belum siap untuk bertemu mereka apalagi setelah persepsi mereka salah kaprah padaku. Ya aku tahu, aku keliru fatal karena harusnya bisa menikah siri tapi aku masih fokus pada karirku dulu. Apa pun aku lakukan untuk Zidan,” ungkap Herdi yang begitu saja bisa melepaskan sisi kehidupannya yang lain kepada Pai.
Pai tercenung mendengarkan penjelasan Herdi. Pai memang bukan cenayang yang tahu tulus atau tidaknya Herdi bicara demikian, dirinya juga bukan psikolog handal yang tahu persis setiap gerakan otot muka atau detail gerakan tubuh lawan bicara termasuk kategori tipu-tipu atau bukan. Pai hanya mengandalkan prinsip praduga tak bersalahnya. Persis seperti yang Bunda nasehatkan selama ini. Pai patut bersyukur memiliki Bunda yang tetap bisa tegar dan berpikir positif setelah mendapat guncangan rumah tangga sehebat dulu itu.
Tangan Pai otomatis mengusap pundak Herdi yang duduk tepat dekat di sebelahnya.
“Lelaki jantan!“ seru Pai lalu ia cengengesan disusul bermimik wajah serius. “Sudah waktunya kamu keluar menunjukkan batang hidungmu di depan mereka, kan? Lakukan saja. Aku percaya kamu pasti merindukan momen bisa memeluk Zidan dan mendengar Zidan bangga padamu ketika maju menceritakan siapa ibu dan ayahnya di depan kelas. Dia sudah masuk playgroup setahuku dari Medi kemarin. Itu juga kalau dia disuruh cerita-cerita, ya? Hehehe. Dari awal aku percaya kok, Her, kamu lelaki baik. Dan orang baik bukan berarti tak bermasa lalu. Baik atau buruk.”
Herdi tersenyum pada Pai. Seolah ia merasa mendapat suntikan semangat.
“Sepertinya aku nggak cukup baik untukmu, Pai. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik.”
Pai terkekeh. “Semoga saja.”
“Pasti,” sahut Herdi mantab.
Kemudian mereka beranjak dari trotoar meraih sepeda mereka. Kembali bersepeda kembali ke rumah Pai.
Selama bersepeda pulang, Pai dan Herdi bersalip-salipan seraya tertawa bersama. Pai merasa sebagian beban hidupnya kembali lepas ke udara, terbawa embusan angin pagi yang akan melanglang buana entah ke belahan dunia mana.
Pai tahu ia bisa menghadapi semuanya. Bermula dari kekhawatiran yang sempat menyelimutinya setelah Erika bercerita lalu keyakinan atas nasehat Bunda selama ini bahwa ia harus bisa memaafkan masa lalu dan terus fokus menjalani hidup kemudian mendapat penjelasan dari Herdi, membuat sebagian ruang di dalam dadanya kembali terasa kosong. Masalah satu sudah terlewati. Hidup terlalu singkat untuk menghawatirkan masalah yang seharusnya diselesaikan, bukan hanya dipikirkan tanpa ada solusi karena hanya akan menyiksa diri sendiri.
Namun masih ada masalah lain yang belum terselesaikan: Robin. Ah, itu nanti saja dipikirkan, batin Pai. Sekarang ia hanya ingin segera pulang karena Bunda katanya masak kue pai untuknya. Herdi juga tak sabar mencicipi kue buatan Bunda.
Senyum semringah Pai mengembang selebar-lebarnya sampai pada akhirnya Tuhan menyetop semuanya seketika.
BRAAKKK!!!
Kemudian terdengar suara truk berdecit keras, bersusah payah mengerem diri. Tapi mau apa, tubuh Pai sudah terpental jauh ke depan membentur tumpukan batuan untuk pondasi bangunan kantor yang sedang dikonstruksi.
Tubuh Pai tertelungkup di pinggiran tumpukan batu tersebut. Kepalanya berdarah-darah, ngilu teramat sangat ada di bagian dada dan perut. Ia juga tak sanggup bergerak. Samar-samar ia mendengar Herdi berteriak meminta tolong dengan wajah penuh kepanikan.
*