Percaya tidak percaya, hidup manusia memang selalu diliputi dengan keajaiban. Merasakah kalian? Sepele saja, misalnya, kalian ingin bakso di siang-siang bolong lalu lewat tukang bakso enak melewati rumah kalian padahal biasanya tukang bakso itu melewati blok lain di kompleks rumah kalian berada. Mungkin beberapa dari kita menyebutnya kebetulan. Apakah benar semua yang terjadi dalam hidup kita itu hanya sebuah kebetulan?
Kalau kita percaya bahwa ada kekuatan yang maha dahsyat ketimbang kita, kita sebaiknya percaya bahwa Tuhan sudah mengaturnya sedemikian rupa tanpa kita sadari. Jadi lebih tepat kalau kita sebut kejadian tukang bakso lewat ujug-ujug itu adalah keajaiban Tuhan. Agak terdengar berlebihan sih, tapi terserahlah kalian ingin menyebutnya apa, yang pasti dalam hidup ini tidak ada yang namanya kebetulan. Semua sudah dirancang Tuhan. Tuhan maha tahu kebutuhan kita.
Keajaiban Tuhan pula yang membuat hati Erika hidup dalam sistem organ tubuh Pai dengan mulus. Sebab Tuhan tahu yang terbaik bagi Pai dan Erika.
Pai merasa sangat berhutang nyawa pada Erika dan keluarganya. Pasca sadar dan operasi sekitar hampir dua bulan dan dirasa ia sudah cukup pulih untuk bergerak lebih banyak keluar rumah, ia menyambangi batu nisan Erika. Menangis haru di sana. Berterima kasih dan meminta maaf atas semua kesalahan yang sudah diperbuatnya kepada Erika. Selain itu Pai juga mengunjungi keluarga Erika. Dari sini, Pai mendapat keluarga baru. Tak nyana Zidan seketika akrab dengan Pai dan memeluk erat dirinya.
“Tante cantik kayak boneka India,” celetuk Zidan ketika mereka baru pertama kali bertemu.
Semua orang tertawa. Dari mana Zidan bisa berkalimat demikian?
“Tante Erika juga cantik. Tante sama Tante Erika sama cantiknya,” imbuh Zidan yang belum paham konsep kematian itu.
Semuanya terkesiap ketika Zidan masih menyebut nama Erika.
“Terima kasih, Sayang. Kapan-kapan main ke rumah Tante, ya? Ada kue pai banyak di sana.”
“Oh, ya? Aku mauuuuu,” seru Zidan melompat-lompat kecil kegirangan.
Suasana kembali menghangat bahagia setelah sebelumnya tertegun sedih mengingat Erika.
Kemudian Pai pulang bersama Robin. Selama Pai sakit, Robin-lah yang sering menjaganya.
“Medi apa kabarnya, Rob? Hebat dong ya, dia ke Maladewa. Sepak terjangnya sudah internasional,” cetus Pai di dalam mobil Robin.
“Kamu ini, sudah ada aku masih cari-cari Medi. Sekalian aja cari-cari Herdi,” balas Robin sewot.
Pai menelengkan kepalanya kepada Robin.
“Kamu kenapa sih, mendadak sinis begitu? Aku kan, tanya Medi gimana? Aku kemarin kirim whatsapp nggak dibales.”
“Harusnya kamu nggak cari-cari dia lagi kalau udah cintanya sama aku.”
Deg!
Pai memutar-mutar bola matanya tak tentu arah. Dia sudah ketahuan? Bagaimana bisa?
Menyadari Pai yang mendadak kaku, Robin menyeloroh.
“Jangan kikuk gitu dong, Fairuz Lunavy. Aku sudah tahu semuanya, kok. Emm... kira-kira aku balikin nggak ya, buku diary itu?” goda Robin. “Medi yang ngasih ke aku.”
Pai terkesiap. “Waah, jail kalian! Balikin bukuku! Trus, kamu tahu namaku dari?”
“Aku tahu dari dulu kali namamu itu. Memangnya aku nggak kepo apa sama cewek bermata belok cengengas-cengenges nggak jelas padahal aku sudah pasang tampang sangar,” kata Robin disusul suara tawanya.
Wajah Pai sudah sewarna udang goreng.
“Terus mana diary-ku?”
“Janji dulu, dong!”