3

492 77 0
                                    


"Sayang, kamu nggak punya daun bawang ya?"

Seruan Juan itu membuatku bangkit dari depan meja rias. Masih dengan tangan menyisir rambut, aku menghampirinya yang berdiri di hadapan lemari es. Setelah pulang dari rumah Ayah, kami sepakat untuk makan malam bersama di apartemenku. Aku tahu lidahku kini menjadi manja karena terbiasa dengan masakan Juan yang lezat, namun dia tidak pernah keberatan untuk memasak. Jadi, kurasa ini win-win solution untuk kami. Terlebih kesibukan Juan yang bertambah karena dia membuka cabang baru di Bali sehingga kami jarang bertemu belakangan ini.

"Habis kayaknya," gumamku seraya meneliti rak penyimpanan sayur di kulkas. "Aku turun sebentar deh, supermarket masih buka."

Juan justru menutup pintu kulkas. "Kalau kita delivery aja malam ini gimana?"

Meski jelas lebih memilih masakannya, aku tidak menolak. Mungkin Juan lelah. Wajah tampannya memang tidak pernah diisi emosi meledak-ledak, namun malam ini binar matanya terlihat lebih redup.

"Kenapa, Juan?" tanyaku. "Ada yang ganggu pikiran kamu?"

Alih-alih menjawab, dia justru menarikku duduk di sofa.

"Kamu masih mikirin soal Ayah?" kejarku. "Aku—"

"Ayah kamu nanya, apa menurutku kamu benar-benar cinta sama aku?" selanya pelan.

Tertegun, aku memandang Juan dengan ekspresi terkejut yang pasti terlihat jelas.

"Ayah aku...?" gumamku.

Juan membalas tatapanku dengan matanya yang masih redup.

"Aku minta izin buat melamar kamu satu minggu sebelumnya. Aku juga bilang, keluargaku sudah siap buat datang ke rumah kamu, melamar kamu secara resmi. Tapi ayah kamu justru nanya begitu sama aku," jelasnya.

Aku tidak bisa menemukan kata untuk membalas Juan, maka kualihkan pandangan pada tanganku yang berada di pangkuan. Mengapa Ayah menanyakan hal itu pada Juan? Apa keraguanku terlihat jelas olehnya? Mungkinkah Ayah....

"Nggak perlu terlalu dipikirin, Ly, aku yakin ayah kamu cuma khawatir." Juan berkata seraya menggenggam tanganku. "Lagian kamu sudah jawab pertanyaan ayah kamu dengan nerima lamaranku."

Aku hanya bisa mengangguk. 

"Jadi, kamu mau makan apa?" tanyanya dengan senyum tipis.

Aku mengangkat bahu. "Aku lagi nggak picky. Terserah kamu aja."

"Pizza. Kamu yang pesan ya," kata Juan.

"Kenapa aku?" protesku langsung.

"Kamu kan banyak permintaan, tambah ini dan itu," jelasnya tenang. "Cepat telepon. Nih, pakai HP-ku."

Aku menerima ponsel Juan dan memasukkan kata sandi, yang anehnya salah. Selama satu tahun lebih kami menjalin hubungan, belum pernah sekali pun dia mengganti kata sandinya.

"Kamu ganti password?" tanyaku.

"Oh, iya," jawabnya. "Sini, aku bukain."

Aku mendekap ponselnya, kemudian membalas, "Kenapa nggak kasih tahu aku aja? Kamu nyembunyiin sesuatu?"

Wajah Juan tampak terkejut. Matanya yang dinaungi alis lebat terbelalak, sebelum akhirnya dia tertawa dan mendaratkan kecupan ringan di pipiku.

As Always, I Love... (Eternity #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang