Aku melangkah turun dari mobil sebelum Rayen sempat membuka sabuk pengamanku. Air mataku mulai mengaburkan pandangan, namun aku menolak menangis di hadapan Rayen. Karenanya mati-matian kutahan tangis terkutuk itu.
Begitu lift berhenti di lantai kami, aku langsung berjalan masuk ke apartemen dengan cepat. Tidak kupedulikan teriakan Rayen yang disusul dengan gedoran tangannya di pintu. Aku membiarkan diriku luruh, bersandar pada pintu yang memiliki Rayen di baliknya.
"Lyrra! Buka pintunya!"
"Pergi! Gue mau sendiri!"
Rayen membalas, "Ada apa, Ly? Lo sudah dapat dompet lo, kan? Kenapa lo sedih? Ada apa?"
"Gue cuma butuh waktu buat sendiri!"
Setelah itu hening. Rayen pasti sudah pulang. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan ponsel. Ada beberapa pesan dan panggilan tidak terjawab yang kubiarkan saja. Kucari nama Juan di kontakku. Nada sambung terdengar, namun tidak ada jawaban.
Selalu. Selalu seperti ini. Juan tidak pernah ada di saat aku benar-benar membutuhkannya. Tangisku kini tidak terbendung lagi. Kuletakkan ponsel sebelum isak menggetarkan seluruh tubuhku. Kututup mulut rapat-rapat. Tidak ingin siapa pun mendengar penderitaanku.
Setelah kepergian Ibu, aku dan Ayah berusaha keras kembali hidup tanpa hancur berkeping-keping dalam prosesnya. Kami pindah ke Jakarta, lalu membuat jadwal khusus di hari Minggu. Meski ada banyak tanya, aku tidak menyuarakannya. Aku dan Ayah sama-sama rapuh, masih berusaha merekatkan kembali hati kami yang dihancurkan Ibu. Lalu, apa maksud Ibu dengan Ayah berbohong? Apa yang sebenarnya terjadi empat belas tahun lalu?
Entah berapa lama aku menangis, namun langit mulai berwarna jingga di luar. Seluruh tubuhku kaku. Tenggorokanku sakit. Saat aku siap bangkit berdiri, sebuah ketukan lembut menyentakku.
"Sudah selesai, Ly?"
Aku membeku. "Rayen?" panggilku.
"Bisa lo buka pintunya sekarang?" balas Rayen.
Air mataku kembali mengalir.
"Lo nggak pergi?" tanyaku dengan suara serak.
"Gue bakal selalu ada di samping lo," jawab Rayen. "Yah, dalam kasus ini di depan pintu apartemen lo. Tapi karena lo ada di balik pintu, sama aja kayak di samping, kan?"
Tanganku menekan dada dengan kuat. Berusaha mengurai rasa sakitnya.
"Jangan, Ray...."
"Ly—"
"Pergi. Gue nggak bisa," ucapku lemah.
Hening.
"Jangan minta gue buat pergi, Ly," sahut Rayen lembut. "Gue nggak keberatan dengan keadaan kita sekarang. Gue nggak akan ngeluh. Tapi, tolong ... jangan minta gue pergi."
Isakanku terlepas.
"Karena gue nggak akan bisa. Gue nggak sanggup," lanjut Rayen.
Tiba-tiba ponselku yang tergeletak di lantai berdering. Nama Juan tercantum di layar. Membuatku menyadari bahwa aku masih sama seperti empat belas tahun yang lalu. Aku masih berbohong. Aku masih hidup dalam mimpi buruk. Aku masih menyimpan luka. Aku menyakiti banyak hati tidak berdosa dalam prosesnya.
Tangisku mengalir dengan lebih menyakitkan setelahnya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
As Always, I Love... (Eternity #2)
ChickLitStand alone. Tidak perlu membaca buku pertama untuk memulai buku ini. Buku pertama dari seri Eternity adalah Take Me for Granted. Sudah diterbitkan oleh Elex Media Komputindo pada April 2018. Silakan beli di toko buku terdekat ^^