9

338 63 6
                                    


Aku selalu bertanya-tanya ... bisakah waktu membekukan luka?

Kepalaku dipenuhi banyak pertanyaan, semakin menambah sesak. Aku hilang arah, tak lagi memiliki tujuan. Dan, semua itu karena aku kembali bertemu dengan seseorang yang tidak seharusnya kulihat lagi.

Bagaimana bisa dia hadir di hadapanku? Mengapa sekarang?

Tidak saja harus melihatnya, aku pun harus kembali mengingat semua itu. Mengingat hal yang sudah kukubur begitu dalam. Hal yang menggerogoti hatiku, membuatku tidak utuh. Menguak rasa sakit, juga membuahkan luka mengerikan. Bertahun-tahun sudah berlalu. Mengapa rasanya masih sesakit ini? Apakah waktu benar-benar tidak bisa membekukan luka?

Kini aku memiliki jawabannya.

Tidak. Waktu tidak bisa membekukan luka. Hanya membuatnya lebih mudah untuk ditanggung. Terbukti dengan tidak adanya setetes pun air mata di wajahku. Aku tidak menangis. Rasanya sungguh sakit, namun aku berhasil menahan tangisku. Aku tidak jatuh berlutut dan larut dalam histeria seperti empat belas tahun yang lalu. Aku masih bisa berjalan, bahkan bernapas dengan benar. Sebuah kemajuan dan aku harus bangga dengan itu.

Kutarik napas dalam-dalam. Sebuah kereta kembali melaju di hadapanku. Suaranya yang bising mengalihkan perhatian. Rangkaian gerbong melintas cepat, membuat sosok-sosok di dalamnya seakan berkelebat. Bisa kurasakan embusan angin yang tercipta karena gerakan kereta itu. Tadi siang, begitu berlari keluar dari restoran dan menghentikan taksi pertama yang lewat, aku menyebut kata stasiun kereta. Sopir taksi membawaku ke Stasiun Sudirman, stasiun kereta terdekat. Sejak saat itu, aku duduk di kursi tunggu peron dan memandang kosong pada kereta-kereta yang lewat.

Aku sendiri tidak yakin apa yang ingin kulakukan dengan datang ke stasiun ini. Aku hanya pernah menaiki kereta CommuterLine beberapa kali, bisa dihitung dengan jari. Namun dari beberapa perjalanan itu, aku tahu bahwa kebisingan di stasiun bisa membantuku untuk membungkam pikiran yang berkecamuk. Tak ada orang yang benar-benar memperhatikan orang lain di tengah keramaian stasiun. Semua orang bergerak. Dan, aku membutuhkan perasaan tenggelam dalam keramaian ini.

Kini, aku menatap orang yang berlalu-lalang, sibuk dengan tas atau gadget masing-masing. Membuatku kembali bertanya-tanya, kehidupan seperti apa yang mereka miliki di luar sana?

Karena kehidupan yang kumiliki tampaknya tidak bisa berhenti menyiksaku. Dan, semua penyiksaan itu dimulai di Bandung, empat belas tahun yang lalu....

***

"Lyrra! Sarapan!"

Seruan itu membuatku segera berpaling dari pantulan cermin yang memperlihatkan aku dalam balutan kemeja putih dan rok biru. Sudah rapi, aku siap berangkat. Kuraih ransel dan kubuka pintu kamar. Ibu sudah menunggu di meja makan dengan roti berselai strawberry dan susu cokelat kesukaanku.

"Selamat pagi, Ibu yang paling aku sayang," sapaku.

Ibu diam. Tidak membalas sapaanku. Ada apa?

"Ibu?" panggilku.

"Ya?" balas Ibu.

"Ibu nggak mau ngasih aku peluk?" tanyaku bingung.

Kuhampiri Ibu dan kuberikan dekapan hangat. Inilah rutinitas kami setiap pagi; berbagi peluk. Karena dengan itu kami bisa merasa cinta kami utuh. Namun tidak seperti biasa, Ibu tidak membalas pelukanku. Dia justru memintaku untuk segera menghabiskan sarapan, sebelum mulai menyisir rambutku.

"Ibu nggak apa-apa, kan? Nggak sakit?" tanyaku lagi.

Ibu mengangguk. Tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.

As Always, I Love... (Eternity #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang