17

224 60 2
                                    

Rayendra Kendavaz : Ly gue lapar.

Rayendra Kendavaz : Lyrraaaaaaaaaa.

Kepalaku menggeleng membaca pesan yang Rayen kirimkan, sementara bibirku otomatis mengulas senyum dan jemariku mulai mengetikkan balasan.

Lyrrani Bestari : Gue lagi jalan sama Juan. Gara2 lo, gue lupa hari ini jadwal milih bunga.

Lyrrani Bestari : Bikin mi sana.

"Kamu suka yang mana?" tanya Juan.

Kualihkan pandangan dari ponsel pada bunga lilac ungu yang berada di hadapanku. Sudah lebih dari lima menit aku berdiri di dekat bunga itu, menatapnya tanpa tahu mengapa aku tidak bisa berpaling darinya.

"Karena tema pernikahan kita warna putih, bunga apa pun cocok," jawabku pelan.

Aku dan Juan pergi ke toko bunga di daerah Jakarta Selatan. Mel tidak bisa datang karena mendadak ada urusan penting sehingga masalah pemilihan bunga harus kulakukan sendiri. Mel berpesan untuk mengirimkan foto bunga-bunga pilihanku dan sisanya biar dia yang mengurus. Tentu saja, itu memang pekerjaannya, bukan?

Sudah setengah jam kami sampai di toko ini. Aku dibiarkan mengelilingi toko sementara Juan menerima panggilan telepon sejak detik pertama kami sampai di sini. Sungguh, aku bukan mengeluh. Namun aku merasa seharusnya kami melakukan hal ini bersama-sama.

Juan menatapku lama. Begitu serius, sampai aku mengerutkan kening.

"Apa?" tanyaku bingung.

Juan menyentuh pipiku, mengembangkan senyum lembut.

"You're beautiful," jawabnya.

Senyumku tidak bisa kutahan. "Nggak usah ngegombal. Aku sebel karena kamu tetap sibuk di hari libur. Harusnya hari ini kamu cuma buat aku," sahutku.

Juan tertawa.

"Aku cuma milik kamu," balasnya tanpa ragu. "Ayo, sekarang kita pilih bunga. Meskipun aku yakin kamu pasti pilih mawar merah muda."

"Kata siapa?" tantangku.

Juan menaikkan alisnya. "Atau kamu mau bunga ini?"

Mataku kembali beralih pada bunga lilac ungu di sisiku.

"Nggak," jawabku akhirnya.

Karena bunga itu bukan milikku dan Juan. Bunga itu milikku dan Ken.

Ken.... Sudah sangat lama sejak aku menyebut nama itu. Sepuluh tahun. Sepuluh tahun aku tidak pernah menyebutnya lagi.

"Ly?"

"Ya?" balasku cepat.

Juan menggenggam tanganku, lalu membawaku menuju sisi toko yang lain. Pada deretan mawar beraneka warna. Tidak membutuhkan waktu lama hingga aku menetapkan pilihan, karena sejak awal aku sudah membuat daftar bunga-bunga yang ingin kupakai untuk dekorasi pernikahanku. Aku hanya ingin melihatnya langsung, menyesuaikannya dengan bayanganku.

"Juan," panggilku. "Menurut kamu—"

Ponsel Juan berdering. Juan langsung menerimanya dan berbicara cepat dengan siapa pun yang meneleponnya. Ketika tangannya menurunkan ponsel, aku tahu hal ini akan terjadi lagi.

Juan pergi.

"Sayang, aku harus—"

"Kamu janji, Juan," potongku.

"Aku tahu. Tapi mendadak ada hal penting yang harus—"

Kuangkat tanganku. Memintanya berhenti menjelaskan. Selama satu tahun lebih kami menjalin hubungan, hal ini selalu terjadi. Juan pergi di tengah pemutaran film, Juan pergi di tengah makan malam, dan Juan pergi ketika kami menghadiri pesta pernikahan temanku. Dia bahkan tidak ada di Indonesia saat aku merayakan ulang tahunku yang ke-29 beberapa bulan lalu.

Aku tahu ini salah satu risiko yang harus kuterima dengan profesi Juan sebagai pengusaha, tapi bukan berarti aku akan terbiasa. Rasa kesal karena tidak menjadi prioritasnya sering kurasakan, meski aku tidak pernah menunjukkannya. Namun aku harus menunjukkannya sekarang. Aku tidak suka ditinggalkan dan Juan harus mengetahuinya. Jika kami benar-benar akan menghabiskan sisa hidup bersama, sudah semestinya aku memberitahu Juan perasaanku yang sesungguhnya, bukan?

"Kamu selalu ninggalin aku di tengah acara kita, Juan," ucapku. "Kamu tahu berapa kali kamu ngelakuin itu? Aku bahkan nggak ingat kapan terakhir kali kamu antar pulang."

"Lyrra, kamu tahu aku ngelakuin ini bukan karena aku mau. Tapi karena aku harus. Pekerjaanku—"

"Terus gimana dengan aku, Juan?" balasku.

Juan menghela napas. "Kamu penting buat aku. Prioritasku—"

Kugelengkan kepala. "Kalau aku prioritas kamu, harusnya kamu nggak ninggalin aku waktu kita sibuk nyiapin pernikahan. Kalau aku prioritas kamu, harusnya kamu matiin HP kamu waktu bareng aku. Kalau aku prioritas kamu, harusnya kamu—"

"Aku bukan Rayen," sela Juan.

Aku tersentak. Meskipun nadanya tidak keras, namun aku merasa tertampar. Selama beberapa saat aku kehilangan kata, tak bisa memikirkan apa pun untuk diucapkan. Karena tanpa sadar, aku memang selalu membandingkannya dengan sahabatku.

"Maaf," ucapku pelan.

Juan menangkup wajahku. "Kita baik-baik aja?" tanyanya.

Aku mengangguk. Merasa bersalah karena sudah egois. Seharusnya aku bisa lebih mengerti Juan. Dia harus pergi karena sibuk, pekerjaannya tidak bisa ditunda. Bukan karena dia ingin meninggalkanku. Aku benar-benar harus membersihkan isi otakku dari pikiran-pikiran buruk.

"Nanti malam aku ke apartemen kamu, okay?"

Kuanggukkan kembali kepalaku.

"Buat pilih kue nanti, jalan sama Anggit atau Irene aja," kata Juan. "Aku ikut apa pun pilihan kamu."

Lagi, kepalaku mengangguk. Perasaanku tiba-tiba saja menjadi campur aduk. Aku tidak tahu apa yang seharusnya kukatakan. Aku tidak suka Juan selalu meninggalkanku ketika kami bersama, namun aku juga tidak mau kami bertengkar. Sejak kapan aku berubah menjadi orang semacam ini? Orang yang takut menyuarakan kejujuran. Orang yang lebih memilih menahan diri dan diam, alih-alih menjelaskan isi hatinya. Ini sama sekali tidak seperti diriku yang selama ini kukenal. Mengapa aku tidak bisa menjadi diriku sendiri ketika bersamanya?

Jawaban itu datang dengan tusukan menyakitkan pada jantungku.

Aku takut Juan tidak menginginkanku. Jika aku memaksanya memahamiku, membuatnya mengetahui diriku yang sebenarnya, aku takut dia akan meninggalkanku.

Juan mengecup puncak kepalaku, sebelum akhirnya melangkah keluar dari toko bunga. Lama setelah kepergiannya, aku masih berdiri diam bersama keheningan. Mati-matian menahan air mata.

Ponselku berdering, menyentakku keluar dari kebekuan.

"Halo?" sapaku.

"Ly—"

"Ray," balasku lega. "Lo di apartemen?"

"Iya. Gue kelaparan dan lo nyuruh gue bikin mi. Lo mau bikin apartemen gue kebakaran?"

Aku memutar mata.

"Masak mi nggak bakal bikin apartemen lo kebakaran. Dasar raja drama," sahutku. "Lo nggak pergi, kan? Temenin gue pilih kue, yuk."

"Memang Pak Bos ke mana?" tanya Rayen.

Aku mendesah. "Dapat panggilan penting."

Hening.

"Halo? Ray, mau nggak? Gue janjiannya jam 2 nih," ucapku. Mataku melirik jam yang menunjukkan pukul dua belas siang. Tidak banyak waktu tersisa, apalagi mengingat betapa macet kota Jakarta bahkan di hari libur.

"Oke. Kasih alamatnya. Kita ketemu di sana aja," sahut Rayen.

Memutuskan sambungan, kukirim alamat toko kue yang akan kami kunjungi pada Rayen. Setelah itu aku keluar dari toko bunga, menyetop taksi pertama yang lewat, dan pergi menuju tempat selanjutnya. Tempat yang seharusnya kudatangi bersama calon suamiku, namun nyatanya harus kudatangi bersama sahabatku.

***

As Always, I Love... (Eternity #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang