14

244 59 1
                                    

Tanpa kusangka, derai tawa terlepas dari bibirku. Aku tertawa. Pertama kalinya sejak ditinggalkan orang terpenting dalam hidupku, aku tertawa.

"Gue mau pulang! Jangan ngikutin gue lagi!" balasku lantang.

Setelah itu aku kembali melanjutkan langkah. Aku sangat yakin Rayen pasti sudah pulang. Mungkin dengan hati yang kesal luar biasa karena aku sudah melakukan hal sekejam itu padanya. Entahlah, biar saja. Aku tidak peduli.

Ketika aku sampai di rumah, ada sebuah taksi yang berhenti di depan gerbang. Dengan cepat aku berlari melintasi halaman, berharap sepenuh hati orang yang datang ke rumah adalah Ibu. Samar, terdengar suara dari arah ruang tamu. Suara Ayah dan Ibu. Namun sebelum aku mencapai pintu, Ibu sudah keluar. Wajahnya terlihat sangat terkejut ketika melihatku.

"Ibu?" panggilku. Rasa senang membanjiriku, hampir membuat air mataku luruh. "Ibu pulang? Ibu bakal balik tinggal sama aku dan Ayah, kan?"

Ketika tak juga mendapat jawaban, senangku bermetamorfosa menjadi kepanikan. Kucengkeram lengan Ibu, memaksanya menatapku.

"Ibu pulang, kan?" tuntutku. "Ibu nggak akan pergi lagi?"

Tanpa kusangka, Ibu justru mengambil satu langkah maju. Satu langkah yang disusul langkah-langkah lain, hingga dia sampai di sisi taksi. Ibu membuka pintu dan masuk ke dalamnya tanpa kata.

"Ibu!" seruku. "Ibu janji! Ibu janji nggak akan ninggalin aku! Ibu!!!"

Taksi yang menyimpan ibuku di dalamnya pergi. Begitu cepat, membuatku mustahil menyusulnya. Tak lama Ayah keluar dari rumah.

"Lyrra."

"Ibu janji...." Isakku.

"Lyrra, dengar Ayah—"

"Kenapa Ibu pergi lagi? Apa yang sudah Ayah lakuin?" selaku.

Ayah terlihat lelah, namun dia tetap berusaha meraihku. "Lyrra, Ayah dan Ibu memutuskan untuk benar-benar berpisah sekarang. Kami akan bercerai dan kamu—"

"Aku nggak mau!!!" jeritku dengan wajah dipenuhi air mata. "Kenapa?! Kenapa kalian pisah?! Aku butuh Ibu! Aku nggak mau kalian pisah! Aku mau kita balik ke Bandung! Aku mau kita pulang!"

"Lyrra, ini rumah kita sekarang—"

"Kalian jahat! Kalian egois!" teriakku. "Aku benci Ayah! Aku benci!!!"

Setelah itu aku berlari pergi. Tidak kupedulikan panggilan Ayah. Ketika berbelok di ujung jalan, aku menabrak seseorang. Bukan hanya seseorang, melainkan Rayen. Anak laki-laki dengan senyum jail dari sekolahku.

"Lo ... kenapa nangis?" tanyanya bingung.

Tanpa menjawab pertanyaan Rayen, aku bangkit berdiri. Aku kembali berjalan. Tujuanku hanya satu; taman kompleks. Taman itu sepi, karena memang tidak ada mainan di sana. Hanya ada satu pohon besar di sudut kanan, dengan rumput hijau dan beberapa tanaman lain di tepinya.

Aku duduk di bawah pohon. Masih dengan tangis terisak-isak. Rayen ikut menjatuhkan dirinya di sampingku.

Kini setelah emosiku reda, aku menyesal sudah mengatakan hal seburuk itu pada Ayah. Aku menyayanginya. Sama seperti aku menyayangi Ibu yang sudah meninggalkanku. Tidak peduli hal buruk apa yang mereka lakukan, aku tetap menyayangi mereka. Namun aku hanya memiliki Ayah. Hanya Ayah yang tersisa. Tidak seharusnya aku mengatakan hal buruk padanya, karena bagaimana jika nanti Ayah ikut meninggalkanku juga?

"Lo ... baik-baik aja?" tanya Rayen.

Senyum tipis tanpa makna terulas di bibirku. Apa aku terlihat baik-baik saja? Tidak. Aku hancur. Aku sakit. Aku tidak ingin hidup seperti ini. Namun semua itu bukan hal yang bisa kuubah hanya karena aku menginginkannya. Suka tidak suka, inilah hidupku sekarang.

Kami kembali terselimuti hening. Bahkan sampai matahari kembali ke peraduannya, kami masih dilingkupi sepi. Rayen tidak bertanya lagi. Hanya terus duduk di sisiku. Menemaniku. Membiarkanku bersama tangis tanpa suara.

Keesokan harinya, bel rumahku berbunyi. Namun ketika aku membuka pintu gerbang, tidak ada siapa pun. Hanya ada sebuah kardus. Kardus itu memiliki label salah satu mi instan terkenal. Bagian atasnya tidak tertutup rapat. Ada sesuatu menyembul dari dalamnya.

Kubuka kardus itu dan sebuah bola basket berwarna merah menyambut.

Bola basket milik Rayen.

Ada kertas di bawahnya. Berwarna putih, dengan gurat pensil memenuhi setiap bagiannya. Kertas itu berisi sketsa wajah. Wajahku yang sedang menangis, dari samping.

Kupandangi gambar itu lekat. Terpesona pada keindahan yang tertuang di dalamnya. Wajah itu terlihat begitu sedih. Gurat penderitaan tergores jelas. Namun ada sesuatu. Sesuatu yang kuat, yang berhasil membuatnya tetap membuka mata dan menatap ke depan.

Inikah yang Rayen lihat ketika memandangku kemarin?

Kubalik kertas itu dan kubaca rangkaian kalimat yang Rayen tulis di belakangnya.

Pertama kali lihat lo, yang terlintas di kepala gue adalah lo cantik.

Mungkin hampir secantik Barbie, meskipun gue sendiri nggak tahu apa yang bikin Barbie cantik.

Gue cuma tahu menurut kakak gue, cewek cantik itu ya Barbie.

Dan, lo cantik. Bahkan waktu lo nangis, lo tetap cantik.

Karena gue suka cewek cantik, gue bakal terus ada di samping lo.

P.S : Gue nggak punya utang lagi sama lo. Nih, bola basket yang lo minta kemarin. Jangan timpuk gue lagi, ya!

Tanpa sadar senyumku mengembang membaca surat itu. Sungguh absurd, namun aku tidak bisa menghentikan senyumku.

Sejak hari itu, Rayen benar-benar selalu ada di sampingku. Setiap hari Rayen mengantarku ke rumah. Tidak peduli pada jarak rumahku yang jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki, dia tetap mengantarku. Di sekolah dia menemaniku, mengajakku makan siang, juga selalu memaksaku mengikuti berbagai acara yang diselenggarakan sekolah.

Bahkan tanpa penjelasan sedikit pun, Rayen tetap bersamaku. Dia hanya tahu bahwa aku memiliki luka. Bahwa aku masih sering menangis diam-diam. Rayen tidak pernah mengatakan apa pun. Hanya terus ada di sampingku.

Menjadi sahabatku.

***

As Always, I Love... (Eternity #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang