19

252 55 12
                                    

Aku memasang sabuk pengaman, menunggu dengan sabar sementara Rayen memilih saluran radio di mobilnya. Langit sudah berubah jingga ketika kami selesai dengan acara makan. Tadi setelah selesai memilih kue, Rayen menarikku menuju restoran Jepang yang ada di samping toko. Perut sahabatku itu benar-benar berkapasitas besar. Jika tidak mengetahui Rayen rajin berlatih Muay Thai dan lari pagi, aku mungkin akan berpikir perutnya dihuni cacing.

"Es krim?" tawar Rayen.

"Nggak doyan," jawabku.

Rayen tertawa. Dia tahu aku bukan penggemar es krim dan pasti menolak jika ditawari.

"Kopi," ucapku kemudian.

"Ginjal lo bisa kelimpungan kalau lo minum kopi sepuluh gelas sehari, Ly," sahut Rayen dengan nada menggurui terbaiknya.

Aku baru akan mendebat Rayen ketika ponselku berdering. Dari Juan.

"Halo?" sapaku.

"Kamu sudah pulang?" tanya Juan. "Gimana acara pilih kuenya?"

Aku tersenyum.

"Coba tebak, aku pilih kue rasa apa?" balasku.

"Hm ... red velvet, maybe? Atau lemon?" sahut Juan.

Jawaban itu membuatku terdiam selama beberapa detik. Aku terkejut. Karena Juan tidak bisa menebak dengan benar. Memaksa hatiku untuk bertanya, apa dia masih belum mengenalku sepenuhnya?

"Aku...." Kutarik napas dalam-dalam. "Aku pilih coffee latte. Nggak apa-apa, kan?"

"Nggak apa-apa. Aku ikut apa pun pilihan kamu," jawab Juan lembut. "Aku nggak bisa ke apartemen kamu. Pekerjaanku masih belum selesai. Maaf, Sayang."

Lagi, aku terdiam.

"Lyrra?"

Aku menghela napas perlahan, lalu menjawab, "Nggak apa-apa. Aku ngerti. Jangan terlalu capek ya. Aku nggak mau kamu sakit."

Setelah mengucapkan terima kasih dan mengingatkan betapa besar cintanya untukku, Juan memutuskan sambungan.

Aku menurunkan ponsel. Tanpa sadar mendesah keras.

"Kenapa?" tanya Rayen.

"Nggak apa-apa," jawabku pelan. Tanganku bergerak menuju tuas di samping jok, lalu kumundurkan sandaran kursi. Perlahan, mataku menutup. Berusaha memblokir rasa sedih yang mendera hatiku. Rasa sedih yang tidak masuk akal. Untuk apa aku merasa seperti ini hanya karena Juan tidak menepati janjinya? Toh, aku sudah sering mengalaminya. Mengapa saat ini berbeda?

"Ly?" panggil Rayen.

"Gue mau tidur," jawabku cepat.

Rayen mengecilkan volume radio dan kami berkendara dalam suasana nyaris hening. Hanya ada suara dari radio yang memutar lagu-lagu baru. Rayen bahkan tidak ikut bernyanyi seperti biasa. Dia tahu, aku hanya memundurkan kursiku ketika sedang sedih atau marah. Karena itu dia membiarkanku.

Kuhela napas panjang. Aku berhutang banyak sekali penjelasan pada sahabatku itu.

Kami terus terbungkus dalam sepi hingga empat puluh menit kemudian. Rayen memarkirkan mobilnya, lalu kami berjalan memasuki bangunan apartemen.

Setelah sampai di depan pintu, aku berbalik untuk menatap sahabatku.

"Thanks buat bantuan lo hari ini," ucapku.

Rayen menahan tanganku sebelum aku sempat berbalik lagi.

"Apa?" tanyaku.

Rayen tidak menjawab. Dia justru menarikku masuk ke dalam apartemennya.

"Tunggu di sini," kata Rayen seraya mendudukkanku di sofa ruang tamu.

Aku duduk sambil menatap Rayen yang berjalan masuk ke dalam kamar bahkan tanpa merasa perlu untuk menyalakan lampu. Apartemennya gelap gulita, hanya ada seberkas cahaya dari jendelanya yang tidak tertutup tirai.

"Ray?" panggilku.

"Sebentar!" balas Rayen.

Tak lama, Rayen kembali dengan berbagai macam benda di tangannya. Dia menjatuhkan semuanya di lantai, lalu mulai mendorong sofa juga meja hingga tercipta ruang yang cukup luas di ruang tamunya.

"Lo mau ngapain?" tanyaku.

"Kemping," jawab Rayen tanpa menghentikan kesibukannya.

Camping adalah salah satu rutinitas yang sering kami lakukan. Biasanya di saat-saat terburukku. Ketika aku tidak mampu menahan segala tekanan dalam hidup, ditambah dengan rasa kehilangan yang terasa menggerogoti jiwaku, Rayen pasti akan membawaku untuk camping. Di tempat-tempat khusus untuk camping, bukan ruang tamu apartemennya.

"Ini kemping darurat. Karena besok kita kerja," jelas Rayen.

Aku berdiri ketika Rayen sampai di sofa yang kududuki. Dengan cepat dia mendorongnya, lalu menarik salah satu benda yang tadi dibawanya. Tenda. Dalam hitungan detik Rayen pun sibuk membangun tenda.

"Ray, lo ngapain, sih? Stop. Nggak bakal muat," kataku.

"Muat," tukas Rayen keras kepala.

Kuembuskan napas. "Tahu dari mana pasti muat?"

"Gue pernah coba sebelumnya."

"Kurang kerjaan," cibirku.

Rayen mengangkat bahu. "Yang penting keren."

"Narsis gila!"

Kami terus mengejek satu sama lain hingga puncaknya Rayen berbalik menghadapku dan berkata, "Mending lo bikinin gue susu deh. Berisik banget."

"Dasar anak sapi," ejekku sebelum berjalan menuju dapur.

Rayen memang tidak pernah absen meminum susu sebelum tidur. Entah apa alasannya, Rayen tidak memberitahuku. Mungkin hanya masalah kebiasaan. Aku tidak pernah lelah mengejeknya, namun dia tidak peduli. Menurut Rayen, selama hal yang dia sukai tidak menyakiti dirinya atau orang lain, maka tidak ada masalah. Diam-diam aku pun setuju dengannya. Aku lebih suka pria yang menghabiskan uangnya untuk membeli susu daripada tembakau.

"Ly! Kasih gula ya!" seru Rayen.

Aku membalas, "Lo bisa mati muda gara-gara diabetes!"

"Sama kayak lo yang kebanyakan minum kopi! Gue cuma berusaha mengimbangi!"

Aku memutar mata. Malas menarik uratuntuk hal konyol. Namunkapan pun kami berdebat, pasti dikarenakan hal konyol. Aku ingat, kami bahkan pernah adu mulut hanyakarena persoalan sabun. Senyumku tak bisa ditahan. Tanpa Rayen, hidupku pasti benar-benar hampa.

***

Ehem ehem. Gimana nih manteman? Tim #SahabatanAja atau #JadianAja? 😆

As Always, I Love... (Eternity #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang