Ketika aku turun dari taksi, Rayen sudah berdiri di samping mobilnya yang terparkir di depan toko kue bernuansa biru. Satu tangannya masuk ke dalam celana jins pudar yang dia kenakan, sementara tubuhnya dibalut kaus lengan panjang berwarna merah bertuliskan Agree to Disagree in Everything.
Begitu melihatnya, senyumku otomatis mengembang.
"Hei," sapaku. "Sudah lama?"
Rayen menatapku tanpa menjawab, membuatku memiringkan kepala. Aku berusaha membuat Rayen bereaksi dengan menampilkan wajah lugu, wajah yang menurut Rayen sangat palsu dan tidak pantas untukku. Namun tidak ada respons. Rayen tetap diam menatapku.
"Celana lo itu harus dilem biru," kataku kemudian.
Rayen menunduk, lalu berdecak.
"Bilang aja lo mau lihat gue nggak pakai celana," balasnya asal.
Wah, itu dia. Hanya dibutuhkan satu ejekan dan Rayen sudah kembali normal.
"Orang gila," gerutuku seraya melangkah masuk ke dalam toko.
Seorang pelayan menyapaku. Setelah tahu bahwa aku datang untuk memilih kue pengantin sesuai janji, dia membawaku pada salah satu meja, lalu memintaku untuk menunggu. Aku mengedarkan pandangan dan melihat toko kue ini cukup ramai. Ada satu keluarga di sudut kanan, lalu beberapa pasangan, juga sekumpulan remaja. Mereka tertawa dan membuat toko ini menjadi ramai. Meningkahi musik yang mengalun dari speaker.
"Kenapa lo harus repot milih kue sendiri? WO lo kerja apa?" tanya Rayen.
"Mereka sibuk nyiapin yang lain. Milih kue memang masuk ke agenda pribadi gue, sama kayak catering. Gue nggak percaya sama lidah orang," jawabku.
Rayen mengangkat sebelah alisnya.
"Memang lo pernah makan kue di sini? Tahu dari mana kue di sini enak?" tanyanya lagi.
Sesungguhnya, aku belum pernah datang ke toko kue ini karena letaknya yang berjauhan dengan apartemen juga kantorku. Anggit yang merekomendasikannya, karena kakaknya baru menikah beberapa bulan lalu dan menggunakan kue dari toko ini. Namun aku tidak mengatakannya pada Rayen.
"Karena belum pernah makan, makanya gue mau coba," jawabku sekenanya.
Rayen diam dan kembali menatapku lekat. Ada sesuatu dalam matanya yang membuatku tidak tenang.
"Ada apa sih, Ray? Lo melototin gue sampai segitunya," tanyaku jengah.
"Mata lo," jawab Rayen. "Lo kenapa?"
Aku mengerjap, berusaha menampilkan ekspresi sepolos mungkin.
"Mata gue? Nggak apa-apa," jawabku.
"Kenapa lo nangis?" kejar Rayen.
"Gue nggak nangis!" bantahku. Lebih keras dari yang kuinginkan.
"Lo nangis. Kenapa?" tuntut Rayen.
Aku memang menangis di dalam taksi tadi dan saat ini kedua mataku masih sembab meski sudah kututup dengan make up. Namun aku tidak merasa harus menceritakannya pada Rayen. Juan benar, aku harus mulai membuat batas antara diriku dan Rayen. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk bicara mengenai ketakutan-ketakutanku pada Juan nanti. Sebab yang akan kunikahi adalah Juan, bukan Rayen.
Beruntung pelayan kembali ke meja kami saat itu juga. Tangannya membawa nampan berisi piring-piring kecil yang di atasnya terdapat kue beraneka rasa. Dia meletakkan piring-piring itu di meja, lalu berkata untuk memanggilnya jika aku membutuhkan sesuatu atau siap memilih.
Aku mengangguk sebagai balasan.
"Kue ini mencurigakan," kata Rayen seraya mengangkat garpunya dan mencoba kue rasa red velvet. "Hmm, not bad."
Dan, sebelum aku menghabiskan suapan pertama di mulutku, satu slice red velvet sudah masuk ke dalam perut Rayen.
"Kok lo makan semua, sih?" protesku.
Rayen mendongak. "Lo sudah coba, kan? Tuh, satu suap di mulut lo. Berarti sisanya boleh gue habisin. Gue lapar."
Bibirku mencebik.
"Nggak usah pasang muka gitu. Lo pasti milih yang ini," ucap Rayen dengan garpu menunjuk kue rasa coffee latte.
Aku menggigit bibir, mencegah senyum yang hampir terkembang. Dia terlalu mengenalku. Aku tetap mencoba setiap kue yang ada di hadapanku. Semua kue itu enak, namun karena aku penggemar besar kopi, pilihanku jatuh pada coffee latte. Seperti dugaan Rayen.
"Gue nggak ngerti kenapa lo harus repot-repot nyobain semua kue ini kalau lo tahu akhirnya bakal pilih coffee latte," komentar Rayen dengan mulut dipenuhi kue. "Cewek memang doyan banget repot ya?"
Kulempar gumpalan tisu ke arahnya, lalu menyesap lemon tea yang kupesan.
"Yang ini enak, Ly," kata Rayen seraya mengulurkan sepotong ke depan bibirku.
"Rasa apa ini?" tanyaku.
"Warnanya sih putih, paling vanila," jawabnya ringan.
Aku membuka mulut. Alih-alih memasukkan kue itu ke dalam mulutku, Rayen justru menempelkannya ke pipiku. Membuatku sontak menjerit.
"Rayen! Lo ngapain?!"
Rayen tergelak. Meletakkan sendoknya, dia lalu mengambil tisu dan membersihkan pipiku. Namun caranya membersihkan sungguh brutal. Tisu itu tidak membersihkan pipiku, justru mengotori bagian wajahku yang lain.
"Rayendra!"
Tawa Rayen semakin keras, mengundang tatapan-tatapan penasaran. Aku menepis tangannya, lalu mengambil tisu dan mencoba membersihkan wajahku. Tentu saja sia-sia. Wajahku telanjur berminyak karena krim. Aku harus mencuci wajahku.
"Lo ngehancurin make up gue!" omelku dengan suara tertahan, tidak ingin membuat drama lanjutan di dalam toko kue yang ramai ini.
"Bagus," sahut Rayen santai. "Gue nggak suka lihat lo pakai make up, apalagi setebal batako gitu. Lo jadi mirip ondel-ondel."
Aku berdecak, lalu bangkit berdiri dan pergi menuju kamar mandi. Setelah membersihkan wajah, aku mendesah keras. Wajah pucat dan mata sembabku kini terlihat jelas. Beberapa detik kemudian tanganku mulai sibuk membubuhkan bedak di wajah. Jika Rayen berani merusak make up-ku lagi, aku akan benar-benar membuat kepalanya botak!
Ketika kembali ke meja, ada seorang wanita dengan rambut memutih di samping Rayen. Mereka terlihat sedang berbincang akrab. Yah, salah satu kemampuan Rayen memang memikat para wanita dari berbagai macam usia. Namun wanita yang bisa kusebut nenek ini tidak terpikat pada Rayen, karena senyum lebarnya tersungging saat aku duduk di kursiku.
"Kapan hari H-nya?" tanya nenek itu ramah.
Aku mengerjap, lalu menyadari bahwa nenek itu pasti bertanya tentang hari pernikahanku. Kegiatan mencicipi kue ini mungkin menggambarkan jelas hal itu.
"Masih empat bulan lagi," jawabku sopan.
Nenek itu mengangguk-angguk. "Melihat kalian, saya jadi ingat anak bungsu saya. Dia akan menikah juga, beberapa minggu lalu baru pilih kue. Tapi bukannya milih, dia justru bertengkar dengan calon suaminya."
Aku tersenyum canggung, masih tidak mengerti arah pembicaraan kami.
"Banyak orang yang tertekan selama persiapan pernikahan, tapi kalian terlihat bahagia. Saya benar-benar berharap anak saya bisa seperti kalian. Semoga pernikahan kalian lancar ya," lanjut nenek itu sebelum berjalan pergi.
Aku terperangah mendengar perkataan nenek itu. Kami? Pernikahan kami?
Aku dan Rayen bertatapan, lalu tawa kami terurai. Tanpa ada yang tahu, bahwa tawaku itu dipaksakan. Karena rasa sesak yang sudah akrab dengan hatiku kembali mencekik tanpa ampun.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
As Always, I Love... (Eternity #2)
ChickLitStand alone. Tidak perlu membaca buku pertama untuk memulai buku ini. Buku pertama dari seri Eternity adalah Take Me for Granted. Sudah diterbitkan oleh Elex Media Komputindo pada April 2018. Silakan beli di toko buku terdekat ^^