Lalu lintas Jakarta di pagi hari sama parahnya dengan sore hari. Atau memang seperti itu sepanjang waktu?
Menghela napas, aku mengalihkan pandangan pada orang yang sibuk bernyanyi di sisiku. Bibir Rayen bergerak mengikuti lagu yang mengalun dari radio, sementara tatapan matanya lurus pada jalan. Bahasa tubuhnya begitu santai, seakan kecepatan mobil 20 KM/Jam yang membuatku kesal tidak memengaruhinya sama sekali.
"We've come a long way, from where we began.... Oh...."
"Berisik," selaku.
Mulutnya seketika terkatup, lalu mata hitamnya beralih menatapku. Ada sesuatu dalam tatapan Rayen yang selalu membuatku merasa tenggelam, juga tenang. Tak peduli berapa lama waktu yang telah kuhabiskan bersamanya, rasa itu tetap ada. Empat belas tahun adalah pembuktian nyata. Ketika dia menatapku, aku merasa baik-baik saja.
Rayen tersenyum, lalu mengulurkan tangan untuk mematikan radio. Satu tindakan langka, mengingat selama ini dia baru menuruti permintaanku setelah aku merajuk dan mengancam akan memecatnya dari jabatan sebagai sahabatku.
"Kenapa lo matiin radionya?" tanyaku.
Rayen menaikkan sebelah alisnya. "Lo bilang berisik."
Kunaikkan kedua alis dengan ekspresi menantang. "Sejak kapan lo dengerin gue?"
Rayen tidak menjawab. Berpura-pura sibuk menyetir. Seakan-akan fokusnya tidak bisa dia bagi antara melihat jalan dan menjawab pertanyaanku.
"Karena bokap gue?" kejarku. "Lo tahu gue—"
"Baik-baik aja. Gue tahu...." Dia menarik napas dalam-dalam, sebelum melanjutkan, "Gue cuma berusaha jadi sahabat yang baik. Karena gue pernah ngelewatin itu. Lo bakal mulai ingat hal-hal bahagia yang pernah lo rasain bareng dia, lalu hal-hal yang nggak sempat lo lakuin bareng dia. Fase penyiksaan diri. Rasa kehilangan itu bakal makin menyesakkan. Gue tahu, Lyrra. Dan, nggak ada anak yang baik-baik aja setelah dua minggu orang tuanya meninggal. Lo bisa bohongin semua orang, tapi lo nggak bisa bohongin gue."
Aku terdiam.
Tidak kukatakan pada Rayen bahwa ucapannya benar, meski memang itu yang kini kurasakan. Aku tidak bisa berhenti mengingat segala hal yang membuatku bahagia ketika bersama Ayah. Acara sarapan bubur setiap hari Minggu, kegemarannya menonton pertandingan sepak bola, juga obrolan-obrolan ringan kami yang tanpa tujuan. Ayah selalu tersenyum, mengajakku bercanda, dan membuatku tertawa. Aku mengingatnya.
Lalu, aku menyesali banyak kata yang tidak sempat kuucapkan padanya. Seharusnya kukatakan padanya bahwa aku bangga menjadi anaknya. Seharusnya kuingatkan dirinya bahwa dia adalah ayah terbaik yang mungkin dimiliki seorang anak di dunia ini. Dan, seharusnya tidak kubiarkan dia pergi tanpa satu pelukan terakhir.
"Kenapa lo nggak bolos aja, Ly? Tanggung banget, ini hari Jumat."
Rayen mengalihkan pembicaraan. Nada suaranya sudah kembali seperti biasa, membuatku menghela napas lega.
"Memangnya gue kayak lo, suka nyari kesempatan di tengah kesempitan," sahutku.
"Hmm ... yang sempit memang lebih enak, Ly," balas Rayen dengan muka mesumnya.
Kucubit lengannya tanpa ampun. "Pagi-pagi omes! Turun sana lo!"
Rayen tergelak, lalu mengedipkan matanya padaku. "Kayak gitu memang lebih enak pagi-pagi."
"Dasar sableng! Pergi lo! Jauh-jauh dari gue!" jeritku.
Tawa Rayen semakin berderai.

KAMU SEDANG MEMBACA
As Always, I Love... (Eternity #2)
ChickLitStand alone. Tidak perlu membaca buku pertama untuk memulai buku ini. Buku pertama dari seri Eternity adalah Take Me for Granted. Sudah diterbitkan oleh Elex Media Komputindo pada April 2018. Silakan beli di toko buku terdekat ^^