5

418 66 3
                                    

Aku memasuki ballroom hotel berbintang lima yang akan menjadi tempat resepsi pernikahanku, lalu memandang ke setiap sudut. Ballroom hotel itu sangat besar. Menurut penjelasan dari sang manager, bisa menampung hingga seribu orang.

Teman-temanku tidak akan sebanyak itu, tentu saja. Karena sepanjang masa SMA aku hanya memiliki Rayen, sementara semasa kuliah aku hanya berteman akrab dengan Anggit dan Irene. Namun aku yakin Juan akan mengundang banyak orang. Keluarganya adalah keluarga terpandang, belum lagi kolega-kolega bisnisnya. Aku mungkin hanya akan mengundang teman-teman kerjaku. Sisanya, biar kuserahkan pada Juan.

Aku menghela napas. Hanya tersisa lima bulan. Lima bulan hingga aku resmi menjadi istri Juan. Mengapa seiring berjalannya hari, gumpalan dalam hatiku justru terasa semakin mengganggu? Mengapa rasanya sesak semakin memenuhiku? Seakan-akan ada tangan tak kasat mata yang menekan jantung dan mencekik leherku.

"Ly?"

Panggilan itu membuatku berbalik.

"Gimana? Kamu suka tempat ini?" tanya Juan.

"Tempat ini bagus," jawabku.

Juan tersenyum, lalu menyentuh lenganku. "Kalau kamu nggak suka, kita bisa cari tempat lain."

"Aku suka," sahutku. Sangat menyadari bahwa kami cukup beruntung bisa menemukan tempat untuk melangsungkan resepsi di waktu yang sangat dekat. Aku sering mendengar obrolan para teman kerjaku yang mengeluh kesulitan mendapatkan tempat, bahkan dari satu tahun sebelum acara.

"Terus kenapa kamu murung? Lagi mikirin apa?" kejar Juan.

"Soal seribu undangan," jawabku sekenanya. "Aku harus nyerahin ke kamu soal itu. Kamu tahu temanku nggak banyak."

Juan memandang ke sekeliling kami.

"Kalau kamu mau, kita bisa nikah dengan tamu undangan yang sedikit. Cuma keluarga kita, misalnya," balas Juan. "Kamu tahu yang penting bagi aku cuma kamu. Selama kamu yang aku nikahi, tanpa tamu undangan pun aku mau."

Aku memiringkan kepalaku, sebelum akhirnya menyunggingkan senyum. "Aku sudah bilang belum kalau mulut kamu itu bahaya? Bisa bikin semua perempuan jatuh cinta dalam hitungan detik."

Tawa Juan terlepas.

"Aku cuma butuh satu perempuan," sahut Juan penuh keyakinan.

"Oh, ya?" balasku dengan wajah pura-pura terkejut.

"Ya. Dan, perempuan itu akan resmi jadi istriku bulan Oktober nanti."

Aku menyilangkan tanganku di depan dada.

"Aku penasaran," ucapku. "Kenapa harus bulan Oktober? Kamu ngotot banget sama bulan itu. Apa yang spesial dari Oktober?"

Juan mengulurkan tangan untuk menyelipkan rambutku ke belakang telinga.

"Karena di bulan itu, tahun lalu, aku sadar aku nggak bisa kehilangan kamu," jawabnya lirih.

Aku mengerjap. Terdiam tanpa kata.

Juan melanjutkan, "Ya, aku cinta sama kamu. Tapi ... ada rasa yang lebih kuat. Aku baru sadar sama rasa itu di bulan Oktober tahun lalu. Aku nggak bisa, Ly. Tanpa kamu, aku nggak akan bisa."

Ketika Juan mengulurkan tangan untuk menyentuh pipiku, aku tidak bergerak. Benakku kembali pada bulan Oktober lalu. Apa yang kulewatkan? Apa yang membuat Juan merasakan hal yang dikatakannya itu pada bulan Oktober? Aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak bisa mengingat kejadian apa pun.

"Juan—"

Ucapanku terpotong dering ponsel Juan. Dengan cepat Juan menarik tangannya, lalu mengeluarkan ponsel.

"Maaf, Sayang. Telepon penting. Sebentar ya," ucap Juan sebelum berjalan menjauh.

Aku kembali memandangi ballroom hotel. Karena aku dan Juan sudah sepakat, mungkin minggu depan kami akan kembali ke sini bersama Mel—salah satu orang yang bertanggung jawab dari wedding organizer.

Aku sudah bisa membayangkan antusiasme Mel karena dari rapat yang kami lakukan bulan lalu, dia berkata bahwa aku salah satu klien favoritnya. Menurut Mel, aku bisa dengan mudah diajak bekerja sama, tidak merepotkan. Meski aku yakin alasan utamanya bukan aku, melainkan Juan. Sejak awal Juan sudah berkata uang bukan masalah. Apa pun yang aku inginkan untuk pernikahan ini pasti kudapatkan. Apa pun.

Namun tetap saja, ada satu hal yang kuinginkan dan tidak akan pernah kumiliki.

Juan selesai dengan panggilan teleponnya. Dia kembali ke hadapanku.

"Ada apa?" tanyaku.

Jawaban Juan terpotong oleh dering ponsel. Kali ini milikku. Keningku seketika berkerut. Karena ketika sedang bersama Juan, hanya ada dua panggilan telepon yang bisa menderingkan ponselku.

Ayah dan Rayen.

Kini, layar ponselku mencantumkan nama Rayen. Terakhir kali aku bertemu dengannya adalah kemarin di kantor. Setelah itu Rayen pulang ke rumah, berkata ada yang harus dibicarakan dengan ibunya. Rayen tahu rencanaku hari ini dan jika dia tetap meneleponku bahkan setelah tahu tentang itu, berarti ada hal yang sangat penting.

Jantungku mulai berdebar keras, berharap sepenuh hati panggilan ini tentang pekerjaan. Mungkin aku melakukan kesalahan pada salah satu rancangan proyek. Sambil menarik napas dalam-dalam, tanganku bergerak untuk menerima panggilannya.

"Ray?" tanyaku.

"Lyrra...."

Suara Rayen begitu berat. Lalu ... apa itu? Suara tangis? Siapa yang menangis?

"Rayen?" panggilku cemas. "Ada apa?"

Jantungku berdetak semakin cepat. Terasa menyesakkan.

"Ly." Rayen menarik napas. "Bokap lo nggak bangun pagi ini."

"Apa?"

"Bokap lo nggak bangun pagi ini. Bokap lo meninggal."

Dan, jantungku berhenti berdetak.

***    

As Always, I Love... (Eternity #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang