16

228 59 7
                                    

"Umm.... HP?" gumamku.

"Ya, di mana HP kamu? Aku coba telepon kamu dari tadi, tapi HP kamu mati," balas Juan.

Otakku berusaha mencari penjelasan yang tepat, tanpa membuat Juan marah, namun Rayen mendahuluiku.

"Gadget free day."

Kulayangkan tatapan mematikan pada Rayen. Bagus, bagus sekali.... Dia baru saja menyulut api di atas bensin!

"Apa?" tanya Juan.

"Gadget free day," ulang Rayen tanpa ragu. "Gue datang ke sini dan bilang gadget free day. Karena itu HP Lyrra mati."

"Ray—"

Juan menatapku dengan tidak percaya. "Kamu matiin HP kamu gitu aja? Tanpa ngerasa perlu buat ngabarin aku?"

"Juan—"

Rayen menyela, "Oke, gue pulang sekarang. Drama rumah tangga sama sekali bukan selera gue."

Kukepalkan tanganku. Begitu gemas ingin menjambak sahabatku yang menyebalkan itu.

"Jangan marah sama Lyrra sekarang," kata Rayen. "Dia belum makan. Lo bisa end up jadi makanannya."

"Rayendra!!!" seruku.

Rayen terkekeh dan melenggang pergi dengan santai. Benar-benar sahabat yang bisa diandalkan. Dia selalu memiliki ide-ide paling brilian untuk meramaikan hariku.

Lalu satu hal yang tidak kusangka terjadi; Juan mengikuti langkah Rayen.

"Juan!"

Juan mengabaikan panggilanku. Aku segera menyusulnya. Dia dan Rayen kini berdiri berhadapan di lorong apartemen. Tanganku mengepal, sementara jantungku berdebar. Ini adalah pertama kalinya aku melihat Juan marah pada Rayen.

"Lyrra tunangan gue," ucap Juan dengan ketenangan mematikan. "Dia bakal jadi istri gue. Apa lo nggak bisa belajar buat bikin batas antara lo dan dia?"

Aku terbelalak. Sementara Rayen mengangkat kedua tangannya.

"Gue dan Lyrra cuma sahabat," sahut Rayen ringan, namun penuh penekanan. "Hell, she's practically my sister. Lo nggak perlu khawatir."

Sebelum Juan membuka suara lagi, aku menarik tangannya kuat-kuat untuk masuk ke apartemenku. Setelah pintu tertutup, aku mengembuskan napas dengan keras.

"Lyrra—" panggil Juan.

"Maaf," ucapku cepat. "Lain kali aku pasti ngabarin kamu. Yang penting aku baik-baik aja. Semua aman. Oke?"

Tanpa kata Juan berjalan menjauh. Satu tangannya terbenam di rambut, sementara wajahnya benar-benar gusar.

"Ly," ucapnya dengan ketenangan yang dipaksa. "Aku nggak pernah mikir aku tipe yang gampang cemburu dan aku nggak suka ngelarang kamu tentang ini-itu, tapi aku nggak bisa nahan lagi. Kamu calon istriku. Apa kamu bisa bayangin gimana perasaan aku lihat kamu sama Rayen?"

Aku mendekatinya dan menjawab, "Rayen sahabatku, Juan. Kamu tahu sejarahku sama dia. Nggak ada apa-apa di antara kami berdua."

"Menurut kamu begitu. Tapi gimana sama sahabat kamu itu?" balasnya cepat. "Kamu pernah mikir nggak, sekali aja, kalau kamu terlalu dekat sama dia? Kalian satu kantor dan tempat tinggal kalian berseberangan. Kalian nyaris nggak punya batas. Dan, aku hampir gila!"

Aku terperangah. "Maksud kamu apa?"

"Kamu punya aku, Ly. Kamu seharusnya cerita ke aku, minta apa pun ke aku, bukan ke Rayen. Aku tunangan kamu. Kita akan nikah dan aku nggak bisa kalau harus terus berbagi kamu," jawab Juan.

"Aku sama Rayen nggak ada apa-apa!" seruku lantang. "Oke, aku memang salah karena matiin HP gitu aja setelah pergi tanpa kabar kemarin. Tapi bukan berarti kamu bisa sembarangan nuduh aku. Aku sama Rayen nggak pernah lebih dari sahabat. Aku pikir kamu kenal aku, Juan. Aku pikir—"

Juan menarikku ke dalam pelukannya. Bisa kudengar dia mengembuskan napas sebelum akhirnya membuka suara.

"Maaf, Ly. Bukan maksud aku nuduh kamu nggak setia. Aku cuma ... susah nerima fakta kalau Rayen akan selamanya jadi yang nomor satu di hidup kamu," ucapnya berat. "Jangan bikin aku khawatir terus. I have to know that you're safe. You're okay. Tolong jangan matiin HP tanpa ngasih kabar apa-apa kayak tadi lagi."

Aku mendesah. Perlahan membalas pelukannya. Ini adalah pertengkaran pertama kami berkenaan dengan persahabatanku dan Rayen. Sungguh, bukannya aku tidak memperkirakan, namun selama ini Juan tidak pernah mempermasalahkannya. Dia percaya padaku. Dia juga menerima Rayen, bahkan cukup akrab. Aku benar-benar tidak menyangka sikapku selama ini yang kuanggap biasa saja sudah melukainya.

"Aku nggak bisa kehilangan kamu," bisik Juan lembut.

Kalimat itu menghentikan napasku. Satu hal yang sangat jarang Juan lakukan adalah menyuarakan perasaannya. Juan pria yang baik, pekerja keras, juga mudah tersenyum, namun dia selalu kesulitan mengekspresikan dirinya sendiri. Satu hal yang membuatku menyukainya di awal perjumpaan kami.

Karena Juan berbeda. Juan tidak mengingatkanku padanya.

"Aku di sini, Juan. Aku di sini," balasku lembut.

Juan mengurai pelukannya, lalu menangkup wajahku dan menatapku lekat.

"Ly...." Juan menghentikan ucapannya.

"Ya?" tanyaku.

"Jangan pergi," lanjut Juan.

Keningku seketika berkerut. Apa yang Juan bicarakan?

"Ayo, siap-siap," kata Juan. Nada suaranya sudah kembali seperti biasa. Bahkan ada senyum di bibirnya.

"Siap-siap?" tanyaku bingung.

"Kamu nggak lupa, kan? Hari ini jadwal kita buat milih bunga. Kamu yang maksa harus lihat bunga-bunga itu. Mel nggak telepon kamu?" balas Juan.

Mungkin Mel meneleponku, namun aku mematikan ponselku.

"Aku siap-siap sekarang ya," ucapku.

Setelah itu aku meraih ponsel, lalu melangkah masuk ke kamar. Masih bertanya-tanya dalam hati, apa maksud ucapan Juan tadi?

***

Jadi, kalian tim siapa? Rayen atau Juan?

As Always, I Love... (Eternity #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang