20

330 63 12
                                    

Ketika aku kembali ke ruang tamu dengan dua gelas berisi susu putih, tenda yang dibangun Rayen sudah berdiri. Dia benar, tenda itu pas dengan ruang tamunya.

"Nih," kataku seraya menyodorkan gelas bergambar Barbie.

Rayen menerimanya dengan seulas senyum lebar dan aku tahu dia mengingat ulang tahunnya sepuluh tahun yang lalu, saat kami masih menjadi mahasiswa. Karena gelas Barbie itu adalah hadiah dariku. Sebenarnya aku berniat menjailinya, namun tanpa disangka Rayen justru tidak merasa kesal atau semacamnya. Sungguh tidak adil karena dia selalu berhasil membuatku naik darah, sementara dia kebal terhadap seluruh usahaku.

"Lo sering pakai gelas itu ya?" tanyaku.

"Nggak," jawab Rayen langsung.

Aku mengerutkan kening. Karena tadi, aku menemukan gelas itu di barisan terdepan dalam lemari di dapur. Aku memang jarang berkunjung ke apartemen Rayen, apalagi setelah aku bertunangan dengan Juan. Aku terlalu sibuk dengan persiapan pernikahanku. Dan, karena Rayen bukan salah satu orang paling berbakat di dunia dalam bidang memasak, kami nyaris menghabiskan seluruh waktu di apartemenku.

Kami duduk bersila di lantai dengan gelas di tangan masing-masing. Tidak ada suara, kami pun tidak saling menatap. Kami nyaman dengan keheningan yang melingkupi. Membuat kami merasa tenang, tidak sedikit pun terusik oleh sepi.

Setelah selesai, aku mengambil gelas Rayen dan membawanya ke dapur.

"Nggak usah dicuci. Besok aja," kata Rayen.

"Lo pikir gue serajin itu?" balasku tak acuh.

Rayen membawa bantal dan gulingnya ke dalam tenda, lalu menyuruhku masuk.

"Besok lo beresin sendiri. Gue nggak mau bantuin," ucapku tegas.

"Bawel. Kayak lo pernah bantuin aja," balas Rayen.

Aku tersenyum, kemudian masuk ke dalam tenda dan membaringkan tubuhku di sisi kanan. Rayen dengan patuh mengambil sisi kiri, meski aku tahu dia lebih suka tidur di sisi kanan. Biasanya kami akan menghabiskan waktu setengah jam hanya untuk memutuskan siapa yang berhak untuk tidur di sisi kanan. Sangat lucu bagaimana kami bisa berbeda dalam banyak hal, namun harus sama untuk posisi tidur.

"Ly."

"Hmm?"

Tidak ada jawaban. Aku menoleh, hanya untuk menemukan Rayen tengah menatap bagian atas tenda. Aku tidak bisa melihat ekspresinya, namun aku tahu ada banyak pertanyaan terkandung dalam satu suku kata namaku yang diucapkan Rayen.

Aku masih belum siap untuk menjelaskannya. Belum mampu menyuarakan kenyataan pahit itu. Kenyataan yang tiba-tiba saja kembali ke hadapanku dan membuatku terkurung dalam ketidakberdayaan. Kenyataan yang memaksaku untuk kembali pada bagian hatiku yang sungguh tidak ingin kubuka lagi.

"Maaf," bisikku. "Gue jelasin ... nanti. Kasih gue waktu."

Rayen menolehkan kepalanya, menatapku dengan seulas senyum tipis. Senyum yang sangat jarang kulihat, karena senyum itu adalah milikku. Senyum yang hanya Rayen berikan untukku.

"Hari Minggu depan Kak Gina ultah," kata Rayen mengalihkan pembicaraan.

Aku mengerang. Benar-benar melupakan ulang tahun kakak perempuan Rayen.

"Bukannya Dio sudah telepon lo?" tanya Rayen, menyebutkan nama suami kakaknya. "Dio mau bikin pesta kejutan di rumahnya. Lo bertugas buat beli balon dan kawan-kawannya."

As Always, I Love... (Eternity #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang