10

343 65 19
                                    


Rayen menghentikan mobilnya.

Kali ini, dia tidak langsung membukakan sabuk pengamanku. Udara di dalam mobil terasa begitu sulit untuk dihirup. Kami berdua sama-sama menatap ke depan, pada pelataran parkir apartemen tempat kami tinggal.

Empat tahun yang lalu, aku memutuskan untuk membeli apartemen ini karena letaknya tak jauh dari kantor. Meski tetap membutuhkan waktu dua puluh menit jika tidak macet, tetap saja lebih praktis daripada berangkat dari rumah Ayah. Rayen yang saat itu baru diterima oleh kantor kami—aku lebih senior dua tahun darinya—mengikuti jejakku. Meski sering bertanya untuk apa dia membeli apartemen ini, selalu jawaban-jawaban ajaib yang dia keluarkan. Lambat laun aku pun menyerah dan menerima saja fakta kami tinggal di dalam apartemen yang berseberangan.

"Ray...."

"Gue nggak bisa bukain sabuk pengaman lo," ucap Rayen. Nadanya terdengar begitu berat.

Aku mengerjap bingung. Sungguh tidak mengerti.

"Lo ... marah?" tanyaku lirih.

Tentu saja. Bodohnya aku bertanya seperti itu. Rayen pasti marah. Dia mencariku selama berjam-jam. Dia mencemaskanku. Tindakanku yang menghilang hari ini sungguh keterlaluan dan kekanakan. Aku menyadari itu, namun aku tidak bisa melakukan apa pun. Semua sudah terjadi.

Rayen memejamkan matanya, lalu menghela napas.

"Ayo, turun," katanya singkat.

Sepanjang jalan menuju apartemen kami yang berada di lantai 21, Rayen tetap diam. Dia berjalan di belakangku. Tak peduli selambat apa aku berjalan, Rayen akan menyesuaikannya hingga dia berada dua langkah di belakangku. Kami masuk ke dalam lift dan aku mendongak untuk menatapnya.

Ekspresi wajahnya begitu muram. Ada kerutan samar di antara kedua alisnya. Aku bahkan tidak berani bertanya padanya. Rayen masih menahan diri. Tapi, dari apa?

Pintu lift terbuka. Kuayunkan kaki ke lorong terang dengan lantai berwarna putih tanpa noda. Rayen masih tetap mengikutiku dari belakang. Menjaga jarak aman. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Lyrra."

Panggilan itu membuatku menoleh. Seorang pria dengan kemeja cokelat yang lengannya digulung sebatas siku berdiri di depan pintu apartemenku. Dahinya berkerut, namun matanya memancarkan kelegaan begitu melihatku.

"Juan...."

Tunanganku itu langsung menghampiri dan menarikku ke dalam pelukan erat.

"Maaf," bisikku di lekuk bahunya.

Juan tidak membalas, hanya memelukku semakin erat.

"Gue duluan," ucap Rayen.

"Thanks, Ray," balas Juan.

Rayen mengangguk, lalu membuka pintu yang berada di seberang pintu apartemenku. Sesaat sebelum pintu tertutup, aku dan Rayen bertatapan. Satu senyum tipis dia berikan untukku. Lalu mulutnya bergerak tanpa suara. Tanpa perlu mendengarnya, aku tahu apa yang Rayen ucapkan.

I know.

Itu adalah tanda bahwa kami baik-baik saja. Dia tidak marah padaku.

Aku membalas senyumnya.

***

Begitu masuk ke dalam apartemen, aku melempar tas ke sofa dan melepas sepatu begitu saja. Juan tidak memberondongku dengan pertanyaan, walau bisa kulihat jelas wajahnya menyiratkan cemas. Dengan sabar dia meraih sepatuku, lalu meletakkannya di rak yang berada dekat pintu.

As Always, I Love... (Eternity #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang