Pada hari minggu, ketika para warga pemilik sawah berkumpul di balai desa pukul 07.00 pagi, Ken dan teman-temannya sedang menuju kendaraan unik, komandan angin yang terpakir di ujung sawah. Niatnya mereka akan pergi ke kebun Pak Hasan.
Bayangkanlah, anak kota dari Jakarta, yang belum pernah lewat pematang sawah, bangun pukul 06.00 pagi (biasanya kalo hari libur bangun pukul 10.00 siang) mata masih setengah tidur, dan badan masih menggigil dingin karena dipaksa mandi, akan berjalan di pematang sawah yang lebarnya hanya sepapan kasur.
Di pinggir jalan hendak menuju sawah mereka berlima diam kedinginan. Citno dan Toto gemeteran melipat tangan. Suleman, yang sedang jongkok, gemeteran juga. Ken, menggosok-gosokkan tangan penuh semangat. Sedang yang melompat-lompat seperti olahraga senam, perempuan satu-satunya bernama, Sena.
"Ayo jalan..." Toto menarik tangan Citno.
Citno berjalan dengan malas, sambil mikir: biasanya kalo dipaksa berjalan ngantuk gini, ada yang bantu nuntun tangan, ini malah suruh jalan duluan di depan.
Citno sudah berdiri paling depan, tapi masih mikir: hmmm... ini jalan sawah, sudah kecil, gak ada rumputnya, licin lagi.
Tiba-tiba suara lembut terdengar persis ditelinga, "Ayo... Citno, jalan pelan-pelan aja," Sena di belakangnya berbisik, membuat mata yang burem karena kabut ngantuk, menjadi terang menderang, haa!!
Mata Citno terbelalak, dan langsung melangkah.
Lima anak kota kalau dilihat dari jauh sekarang seperti sedang berbaris rapih di tengah sawah, walau kadang yang berjalan di belakang, Ken, kakinya terperosok masuk sawah, tapi dia cepat berdiri lagi takut teman-temannya yang didepan melihat, bisa ramai tertawa nanti.
Sepuluh menit pertama, perjalanan sering berhenti, membuka sepatu dan sandal, lalu jalan menjinjit, terus ribut debat kusir, keliatan tangannya saling tunjuk-tunjuk tanah. Rupanya yang di depan, Citno, karena gemuk mau lompat antara pematang takut. Dia berhenti lama.
Sena yang dibelakangnya berbisik lagi, "Cuma parit kecil Citno, ayo lompat..." bisik Sena, seperti iklan sabun.
Yang di bisikin tersenyum, seperti iklan pewangi pakaian, megar, penuh bunga.
Citno langsung melompat tanpa ancang-ancang, hanya bermodal bisikan lembut Sena, keseimbangannya oleng, kaki dan pahanya tidak kuat mengangkat tubuhnya yang gemuk, Citno jatuh duduk di parit sawah sekunder.
Di kejauhan lima anak baru berumur 11 tahun itu ramai tertawa saling ngeledek dan bercanda melempar lumpur, mereka lari mejauh dari Citno.
"Ok! Kita lanjut jalan lagi. Saya udah jinak nih," teriak Citno, kepada teman-temannya yang menjauh.
***
Dengan waktu yang cukup lama dan perjuangan yang berat, akhirnya mereka sampai di tempat parkir komandan angin, dibawah bukit.
Seperti sudah terbiasa dengan kendaraan aneh ini, lima anak itu langsung otomatis menyiapkan segala sesuatunya, mengecek kelengkapan kendaraan dan layar, kemudian langsung duduk manis diposisinya. Mereka akan menuju kebun Pak Hasan.
Untuk sampai ke kebun Pak Hasan di Bukit Patuha yang berjarak tujuh kilometer, komandan angin akan melewati dua buah jembatan kereta api tua. Jembatan itu adalah jembatan Ciantik dan jembatan Rancagoong, yang sudah tidak terpakai lagi. Keduanya melewati satu sungai yang sama, sungai Ciwidey yang melingkar membentuk huruf "U" tidak simetris. Jembatan Ciantik dilingkungan warga Ciwidey kurang populer karena bentuknya kecil dan hanya memiliki panjang 30 meter.
Dengan kecepatan 10 km per jam melewati jembatan Ciantik, komandan angin tidak mengalami kesulitan yang berarti walau kewaspadaan harus tetap dijaga, karena semakin pendek suatu jembatan nampak terlihat lebih kuat dan aman. Itu dapat dirasakan dari goyangan ketika meluncur di atasnya. Jembatan Ciantik tidak memiliki struktur bangunan yang anggun dan megah seperti layaknya sebuah jembatan kereta api buatan Belanda, jembatan itu banyak ditutupi oleh tanaman merambat yang liar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Angin
Fiction généraleKen menepati janji untuk menyusuri rel kereta api itu dengan berjalan kaki. Nazar yg dia lakukan itu adalah napak tilas masalalu. Dulu dengan kendaraan modif sepeda diatas rel kereta api, dia bertualang dengan 4 temannya. Masalalunya begitu indah wa...