8. Sebuah ide untuk Pak Hasan

105 6 1
                                    

       Pagi itu Ken dan Suleman sedang asyik memotong kayu dengan gergaji di samping rumah Pak Lurah, sementara Sena, Toto, dan Citno membantu Pakde Mustari di sawah. Hari ini seharusnya Ken dan Suleman juga ikut membantu di sana, tapi karena sudah janji dengan Pak Hasan untuk membuatkan alat menanam biji, hari ini mereka tidak ikut ke sawah.

Bahan-bahan yang dibutuhkan sudah disiapkan. Terlihat ada sepotong bambu yang panjangnya dua meter, sebuah per bekas tempat tidur, sepotong balok yang akan diruncingkan membentuk ujung peluru, serta bahan kecil lain seperti paku, potongan ban sepeda, dan alat perkakas tukang milik Pak Lurah.

Sistem kerjanya setelah alat menanam biji atau tugal itu jadi, apabila ditancapkan pada tanah, maka kayu paling ujung yang mirip ujung peluru akan terdorong ke dalam bambu. Sehingga mempertemukan dua lubang, yaitu lubang kayu ujung peluru dan lubang dinding bambu. Keluarlah jagung dan biji-bijian di dalamnya. Lalu ketika diangkat maka lubang kayu tersebut akan menutup kembali sehingga biji tidak dapat keluar. Metodenya mirip sebuah pulpen, isi tinta adalah ujung peluru, sedangkan badan pulpen itu sendiri adalah bambunya. Jadi apabila ujung pulpen itu ditekan maka akan keluarlah biji dari dalam body bambu.

Beberapa jam kemudian jadilah alat menanam yang di sebut tugal itu. Pakde mustari yang baru pulang dari sawah, melihat hasil karya Ken dan Suleman menepuk pundak mereka.

"Bagus. Ini saya suka dengan anak kreatif seperti ini," katanya, setelah diberitahu cara kerja tugal praktis itu.

Sena, Toto, Citno mengerumuni hasil karya Ken.

"Emang kamu dapat ide darimana bikin tugal itu Ken?" tanya Pakde Mustari.

"Dari Pak Hasan. Kemarin dia menanam jagung kok kayaknya ribet, hanya sekedar menanam jagung saja sampai tiga tenaga kerja dipakai."

"Kalau dengan tugal ini kan cukup satu orang saja yang bekerja, tak usah lagi dibantu oleh istri dan anaknya," lanjut Ken.

Pak lurah manggut-manggut, nampaknya beliau kagum dengan cara berpikir anak tanggung yang dibawa Pakde Mustari ini.

Kekagumannya Pak Lurah pertama datang dari komandan angin yang dibuat oleh Pakde Mustari untuk remaja tanggung itu. Sungguh itu kendaraan yang sangat potensial di rel kereta api kosong. Kendaraan itu unik dan agak aneh. Betapa tidak aneh, kendaraan itu dibuat dengan dua tenaga penggerak: Satu, tenaga manusia dengan dikayuh. Ke dua, dengan tenaga angin untuk mendorong layarnya yang berada di belakang.

Lebih jauh lagi, sebenarnya komandan angin bisa dimanfaatkan sebagai sarana parawisata, di mana dengan memanfaatkan rel kosong itu, pemandangan yang indah di Ciwidey dan sejarah rel kereta api bisa dinikmati. Rel kosong itu melewati daerah pertanian yang beragam, melewati sawah, melewati pertanian palawija, melewati pertanian komersial, seperti pertanian moderen dengan mulsa perak. Setelah itu rel kereta api melewati jembatan besi yang sangat panjang, yaitu jembatan Ranca goong dan Ciantik, masuk ke hutan cemara, hutan pohon kina dekat perkebunan teh. Luar biasa kalau itu dapat di wujudkan sebagai sarana parawisata di Cikoneng, pikir Pak Lurah.

Di desa Cikoneng dan sekitarnya ini, kalau komandan angin difungsikan untuk keperluan parawisata, kehidupan masyarakatnya dalam bidang ekonomi akan bertambah. Caranya dengan membuat semacam stasiun peristirahatan dengan daya tariknya pemandangan dan hasil pertanian yang ada dan khas daerah itu. Ini akan menjadi petualangan wisata yang menarik.

Dan tentu saja komandan angin dibuat lebih banyak, bukan hanya satu saja. Penumpangnya cukup lima seperti yang ada itu. Sang mengemudi layar, yang berdiri di belakang, kalau bisa adalah pemandu yang mengetahui daerahnya dan mengerti bahasa inggris. Satu lagi sudah menyerap tenaga kerja, pikir Pak Lurah yang lebih matang melihat potensi.

Komandan AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang