5. Hantu penunggu guha

67 8 2
                                    

Cisaat, 18 km dari Stasiun Sukabumi.

Dalam perjalan menyusuri rel kereta api, Ken telah sampai di Cisaat. Masih menyisakan 40 km lagi untuk sampai ke Bogor. Jadi Ken harus berjalan satu hari setengah kalau menghitung jarak 18 km saja sudah dia tempuh setengah hari, alias delapan jam.

Waktu menunjukan pukul 13.00 siang di mana matahari panasnya seperti berada di atas panggang. Dikejauhan rel kereta api tampak sudah tidak lagi simetris. Rel kereta api seperti karet yang kendor, melengkung-lengkung tak beraturan dan di atas relnya menguap asap-asap bening berkilau, seperti cahaya air. Itu barang kali yang disebut faktamorgana.

Ya Allaah... perjalanan ini tidak semudah yang aku kira, keluh Ken.

Seperti siang hari ini, di mana antara satu tiang listrik ke tiang listrik berikutnya rasanya lambat sekali dilewati. Itulah akhirnya Ken tergoda ingin menaiki kendaraan beroda, yang penting jalan ini jadi lebih cepat.

Dalam perjalanan yang digerakkan dengan hati lemah, sayup-sayup Ken mendengar ada suara yang dikenalnya dan selalu akrab di telinga, suara riak air di parit pinggiran rel. Suara itu adalah suara kesegaran, suara harmonisasi tentang sebuah alam desa yang berbeda dari suara alam yang berada di sepanjang rel.

Dia menghentikan langkahnya. Mendengar riak air, tubuh yang sejak tadi dirasa panas mendadak terasa segar. Tak sabaran rasanya ingin tubuh ini disirami dengan suara air gemericik itu. Ken lalu turun dari jalan kereta api yang letaknya dibuat lebih tinggi dari tanah disekitarnya. Dia ingin cepat tahu, persisnya di mana sumber air parit itu. Setelah ditelusuri sumber air itu ternyata tidak jauh. Tempatnya persis ada di bawah pohon beringin. Pepohonan itu tumbuh di atas bebatuan yang sudah menghitam bercampur dengan lempengan batu-batu cadas yang berlumut. Sumber air itu adalah mata air yang keluar dari dalam bebatuan yang membentuk sebuah guha.

Ken membuka baju dan menaruh rangsel di atas batu besar, kemudian turun telanjang kaki dan dada. Hmm, segarnya seperti air yang tak pernah kena sinar matahari. Seperti air yang ada dalam guha, ingatannya kembali tergambar ketika di sungai Ciliwung dulu.

Disebuah lembah menuju sungai Ciliwung, dirute yang sama dalam setiap kali arung sungai, Ken sering melihat ibu-ibu tua duduk beratapkan daun kelapa tiga lembar yang ditancapkan saja di belakangnya, maksudnya agar terhindar dari sengatan sinar matahari. Lalu ibu-ibu tua yang entah dari mana datangnya itu duduk di bawah bayang-bayang daun kelapa sambil memecahkan batu kali dengan palu. Batu-batu yang sudah pecah lalu di pisahkan sendiri. Kemudian dilanjut memukuli batu lain yang nampak masih bundar, begitu seterusnya berhari-hari, hingga batu pecahan yang sudah dipisah itu menggunung dan siap diangkut truk sebagai bahan bangunan yang biasa disebut split.

Ken dengan teman-teman sering melewati Ibu-ibu tua itu bila hendak ke sungai. Ken tidak mengenali mereka, yang dikenal Ken hanyalah guha yg ada disekitarnya. Ada dua guha penambang pasir di dinding tebing. Bila diamati, ibu-ibu tua pemecah batu itu sering masuk kesalah satu guha, terutama pada pagi dan siang hari. Apa yang dilakukannya di sana? pikir Ken penasaran.
Maka ketika pulang dari sungai menjelang sore pukul 17.00, Ken dengan kelompoknya, berencana akan masuk kedalam guha. Dipilihnya pukul 17.00 karena dianggapnya pada jam itu para pekerja pemecah batu sudah pulang.

Guha itu berada pada tebing vertical dengan kemiringan 130 derajat dengan panjang tebing kurang lebih setengah kilo meter mengikuti jalur sungai.

Ketika sampai di mulut guha, hawa lembab bercampur hangat menerpa tubuh mereka. Baunya yang keluar dari dalam guha itu bau aneh, rasanya kurang enak di hidung. Di cahaya sore pukul 17.10 di atas mulut guha yang berwarna orange, burung-burung gereja sibuk mencari jalan pulang kembali.

Komandan AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang