4. Sungai Ciliwung

69 10 2
                                    


6 km perjalanan Ken dari stasiun Sukabumi.


Iya, aku ingat teman-teman, ingat sungai Ciliwung, Ken memandang jauh rel di depannya.

Waktu itu hari Minggu Pukul 07.30, tahun 1979.

Masih SD kelas 6.

Suara gemuruh air sungai Ciliwung menggema memenuhi lingkungan sekitarnya karena jeramnya begitu besar.

"Sena...!" Ken memanggil satu dari beberapa teman yang pagi ini turun ke sungai Ciliwung untuk membuat rakit dari batang pisang.

"Sena...!!" Ken teriak lagi, percuma pikirnya, kalah keras dengan deru jeram sungai. Lalu matanya melihat Toto di seberang sungai sedang asyik menebang pohon pisang.

Ken memungut kepingan batu cadas. Dilemparnya ke arah Toto.

Ada kepingan batu cadas jatuh melesak di rimbunan semak, Toto menoleh.

"Sena kemana... !?" teriak Ken.

"Di batu cadas dengan Suleman!" balas Toto.

Huhhhhh...ngapain itu mereka di sana. Ken bergegas ke arah yang di tunjuk Toto.

"Hoi....!! Sena, talinya mana lagi!?" teriak Ken ketika melihat Sena bersama dua teman lain, Citno dan Suleman.

Merasa ada yang memanggil, Sena menoleh. Karena suara gemuruh jeram lebih dominan dia menghampiri Ken.

"Masih ada sisa tali lagi gak?" tanya Ken setelah Sena mendekat.

"Habis! dipakai ngikat rakit Suleman," jawab Sena.

"Ayo kita cari tali ke atas," ajak Ken.

Tanpa banyak pikir Sena naik mencari tali bersama Ken menyusuri jalan setapak yang terjal, menjauh dari suara jeram sungai Ciliwung yang letaknya lebih rendah di bawah lereng, melewati hutan-hutan kecil pencegah erosi sungai.

Dalam perjalanan mencari tali itu mereka sampai di padang gersang. Di sana banyak ditemukan batu-batu kali besar yang tertutup semak belukar. Bebatuan yang muncul bentuknya beraneka ragam: ada yang datar seperti plester rumah, ada yang membentuk empat persegi pajang sebesar mobil mini bus, dan ada yang setengah bundar seperti tempurung kelapa. Tempat itu menjadi menyenangkan untuk bermain bagi mereka, karena batu-batu itu di celah-celahnya ditebari bunga rumput aneka warna, kuning, merah, putih. Selain itu sisanya adalah batu-batu kecil, campuran pasir berwarna coklat muda yang terhampar di tanah. Batu-batu itu adalah endapan vulkanik yang bahan dasarnya sama dengan batu kali di sungai Ciliwung. Di padang luas kurang lebih satu hektar itu tidak ada tanaman tinggi, yang ada hanyalah tanaman semak.

Menurut cerita, tanah gersang itu dulunya adalah tanah datar yang subur. Karena terjadi gempa, tanah itu longsor dan sebagian tanah amblas hingga memunculkan batu-batu basar tadi dan menciptakan tebing baru.

Ken dan Sena mengikuti jalan setapak yang biasa mereka lalui bila ke sungai. Di sana Ken sering melihat –di tebing bekas tanah longsor itu– ada guha penambang pasir dan ibu-ibu tua pemecah batu sedang bekerja.

***

Pukul 08.30, setelah lima buah rakit siap, "Okeyy tarik!!" Teriak Ken dan Toto.

Kelima rakit dari batang pisang disejajarkan. Semua penumpangnya tiarap menyatu dengan rakit pisangnya masing-masing. Mereka akan menghanyutkan diri bersama-sama. Khusus buat Sena perempuan satu-satunya di kelompok itu, dan baru pertama kali ini mengikuti kenakalan meraka, dia harus dituntun.

Komandan AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang