Kamis pagi, pukul 9.00. Pakde Mustari seperti biasa berada di sawahnya. Sawah yang sudah dipenen meninggalkan sisa potongan rumpun padi kering setinggi tigapuluh sentimeter, dan sawah itu tidak berair. Tapi sebagian lagi di petakan khusus sebelah selatan, air irigasi sudah mulai masuk untuk persiapan pembibitan.
Di petakan sawah yang kering itu Pakde Mustari sedang membersihkan dinding pematang dari gulma, semacam rumput liar pengganggu, dibantu Citno dan Suleman. Lima puluh meter dari sawah Pakde, Ken dan Toto sedang membersihkan layar komandan angin, membersihkan bagian bearing roda, dan membersihkan gear pedal dengan olie, agar pada saat digunakan lancar berjalan di atas rel. Sesekali mereka menyiramkan air ke komandan angin dari parit irigasi yang bersebelahan dengan rel.
"Ini tempat sarang penyakit," kata Pakde kepada Sena dan teman-temannya, sambil mencabuti tanaman liar.
"Kok kenapa sarang penyakit?" Sena tak mengerti.
"Bila siang hari rumput liar itu tempat sembunyi hama yang kepanasan. Kalau pagi karena udara teduh, hama hinggap di padi muda. Jadi setidak-tidaknya dengan membersihkan rumput liar ini, hama sudah tidak ada tempat untuk sembunyi dari cuaca panas," kata Pakde menjelaskan.
Sena mengerti.
"Hama itu termasuk burung juga ya Pakde?" tanya Sena, ketika melihat di gubuk tempat mengusir burung ada Bude Wiwi sedang mempersiapkan sarapan.
"Iya, termasuk manusia juga hama kalau merusak tanaman kebun," jawab Pakde.
Sena lalu melirik Citno yang sedang mengunyah daun asem-aseman, sejenis gulma yang sering tumbuh di pematang.
"Tapi di sini ini, hama yang paling merugikan itu burung," kata Pakde Mus.
Bude dari gubuknya memanggil untuk sarapan pagi. Mereka berempat berjalan menuju sungai kecil untuk membersihkan diri. Citno dan Sena ikut bergabung, berjalan seperti berbaris di pematang sawah.
Di gubuk sawah mereka makan dengan nikmat sekali, karena walaupun lauknya sederhana, berupa ikan betok kecil yang digoreng garing, disiapkan juga sambal hijau di coet batu, itu kenikmatan pertama. Kenikmatan kedua, beras yang dimasak ini adalah beras pandan wangi yang asli, pulen dan hangat, hasil dari sawah sendiri. Kenikmatan ketiga adalah, makan di gubuk tengah sawah, di mana udaranya sejuk dengan angin yang semilir, hmmmm....kalau hanya restoran paling mewah di kota besar saja lewat, batin Citno. Matanya memandang jauh, melihat komandan angin yang baru saja di service sedang diam diatas relnya. Bukit patuha yang berjajar di sepanjang sawah nampak hijau dengan banyak pepohonannya, di mana di sebelah timur itu terlihat kebun bambu yang tumbuh tumpah menuruni lereng hingga menyebrangi rel kereta api.
Di sebuah gubuk sawah setelah usai sarapan, kalau tidak ada kegiatan yang berarti, ngantuk segera membelai mereka yang sudah kekenyangan. Gubuk sawah yang sejuk itu sudah merubah posisi mereka, dari posisi duduk bersila, selonjoran, rebahan, lalu tiduran.
Sena datang ke gubuk setelah membantu Bude mencuci piring. Dia hanya melihat Citno dan Suleman sedang tiduran. Sementara Pakde Mus masih terus mencabuti gulma pematang sawah.
Kemana Toto dan Ken? pikir Sena, sambil matanya menuju tempat komandan angin diparkir. Sena melihat dua temannya sedang asyik ngobrol di atas rel, lima puluh meter dari gubuk sawah.
Di sana rupanya.
Tumben akhir-akhir ini mereka jadi sangat dekat.
Sena melihat Ken melambaikan tangan kearahnya. Nampaknya Ken ingin mengajaknya untuk bergabung dan bicara di dekat komandan angin.
Sena mengerti, lalu segera mengajak dua temannya, "Cit, Man, kita gabung dengan Ken! Itu mereka di rel!"
Suleman, Citno, segera bangun dan keluar dari gubuk sawah menyusul Sena yang sudah berjalan lebih dahulu menuju komandan angin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Angin
Ficción GeneralKen menepati janji untuk menyusuri rel kereta api itu dengan berjalan kaki. Nazar yg dia lakukan itu adalah napak tilas masalalu. Dulu dengan kendaraan modif sepeda diatas rel kereta api, dia bertualang dengan 4 temannya. Masalalunya begitu indah wa...