PART 9: LANGIT SORE (Revisi)

106 3 0
                                    

"Menerima kenyataan kalau kamu ingin berhenti menjadi jingga setiap kali langitku mulai gelap."

#1

Satu semester sejak sekelas denganmu terasa berjalan cepat. Kehadiranmu yang jadi alasannya. Dengan pemikiranmu yang selalu menjadi favoritku di setiap harinya. Terutama tentang caramu yang istimewa dalam memperlakukan orang lain dan menabung rasa sayang dari mereka. Kamulah ahlinya. Kamu selalu tahu cara berbicara dengan orang yang sedang marah. Dengan orang yang sedih. Atau dengan orang berkepala batu sekalipun. Tidak pernah ada kata gagal dalam kamusmu. Aku pikir semua orang juga akan setuju denganku. Bahwa kamu hebat, selalu hebat. Apalagi dengan prestasimu yang cemerlang di kelas. Rasanya aku semakin senang punya kamu yang berdiri di sampingku. Menopang segala kelemahanku yang semakin bergantung pada kelebihanmu itu. Sampai aku begitu takut jika kamu akan pergi lagi suatu hari nanti. Menyisakan aku yang kesepian lagi seperti sebelum ada kamu.

Pikiran tentang kamu sibuk berkelana di kepalaku pagi itu. Saat kita duduk bersama di gerbong restorasi untuk menikmati kopi favoritmu. Tanpa mengalihkan tatapanku dari wajahmu yang tersembunyi di balik masker medis berwarna hijau. Waktu itu kita tidak sengaja bertemu di kereta yang sama untuk kembali ke Jakarta setelah liburan semester selesai. Kita tidak hanya berdua. Ada Tari juga yang duduk di sebelahku. Sedangkan kamu duduk tepat di depanku. Dan kamu justru lebih asyik bicara dan bercanda bersahut-sahutan dengan Tari. Seingatku topiknya tentang acara malam keakraban kelas kita yang tinggal 3 minggu lagi di puncak, Bogor. Sedangkan aku lebih banyak diam, memperhatikan caramu bercengkrama yang selalu menyenangkan. Lalu aku memotretmu berkali-kali dengan ponselku untuk mengabadikannya. Sebelum akhirnya Tari merebutnya dari tanganku. Lalu sibuk mengotak-atik isinya yang membuatku jengkel setengah mati.

"Eh, resek elu Tar. Balikin sini."

"Hahaha, abisnya elu sibuk amat sama HP. Sampai gak nimbrung sama kita elaahhh."

"Cewek-cewek kalau udah ngegosip mana inget punya temen di sebelahnya."

"Eh Prill, aku nemuin sesuatu. Kamu harus lihat. Bakal jadi gosip heboh nih di kelas."

Aku langsung menghentikan gerakanku untuk mengambil ponselku dari tangan Tari saat dia berubah antusias ingin menunjukkan sesuatu padamu. Kamu pun malah tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkah kami. Sampai akhirnya kamu berhenti tertawa karena termakan oleh rasa penasaran yang teramat sangat pada perkataan Tari. Reaksimu mengatakannya saat melakukan aksi mengangkat alis untuk meminta penjelasan kepada Tari setelahnya. Tadinya aku pikir Tari mau mengadu kalau diam-diam aku sudah mencuri fotomu. Tapi yang terjadi, ternyata masih tentang Martha. Tentang aku yang menyimpan foto profil line Martha di galeriku. Padahal kalau kamu mau tahu, itu sudah sejak lama sekali. Saat masa awal-awal aku mengikuti saranmu yang menjebak itu.

"Ada foto Martha loh, Prill. Fix lah gak cuma gosip."

"Please deh, Tar. Gue cuma mau bikin meme pake foto itu."

Nadaku sudah tidak santai lagi karena merasa terpojok. Sedangkan Tari malah sengaja pindah duduk ke sebelahmu untuk memperjelas bukti dari perkataannya. Dia menyodorkan foto Martha yang sedang menjulurkan lidahnya di kursi kemudi mobilnya padamu dengan tangan kanannya. Sementara kamu antusias untuk segera menunduk mengikuti arah jari telunjuk Tari sebelah kiri. Tidak menanggapi, kamu hanya tersenyum. Dulunya aku pikir itu pose Martha yang paling lucu. Jadi aku tidak berniat menghapusnya. Lalu hari itu aku berubah pikiran. Semua menjadi tidak lagi lucu setelah foto itu membuatmu berhenti tertawa di sepanjang jalan. Bahkan sampai dengan kita turun dari kereta di stasiun Jatinegara. Kita masih terpisah dengan tanpa suara.

#2

Kalau kamu pikir hari itu aku tidak terusik dengan serentetan kejadian yang terjadi sejak ada Martha, kamu salah. Bahkan tidak pernah sedetik pun aku bisa hidup tenang tanpa ketakutanku untuk menyakitimu. Tapi kamu justru seperti tidak pernah mau tahu. Kamu malah terlihat tetap hidup tenang dengan teman-teman yang lain. Bercanda dan saling bercerita tentang liburanmu di bangku pojok depan. Aku masih ingat betul hari itu. Hari pertama kuliah di semester 4. Hari di mana kamu mengabaikan usahaku untuk membuatmu senang dengan membelikan oleh-oleh sate fillet ayam yang sedang hits di daerahku. Padahal awalnya, aku sempat membayangkan kamu yang antusias untuk mencoba kuliner itu sebagaimana hobimu di Bintaro.

Untuk APRILLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang