PART 6: PRIA SEJATI (Revisi)

132 2 0
                                    

"Sosok wanita sederhana yang dengan ajaibnya selalu berhasil menyihirku untuk kembali merasa baik-baik saja."


#1

Bagian ini mungkin akan banyak menceritakan tentang diriku sendiri. Tentang aku yang asyik dengan duniaku sendiri. Tentang aku yang dengan mudahnya tersulut emosi. Entah karena obsesi. Ambisi. Atau hal sepele lain yang seharusnya tidak perlu dibesar-besarkan. Tapi apa yang bisa diharapkan dari remaja berusia 20 tahun selain terlalu cepat mengambil keputusan. Dia hanya seorang remaja yang sedang bertumbuh dan belum pernah tahu makna sejati dari sebuah penyesalan. Meski aku tahu, pernyataanku barusan tetap saja tidak pantas untuk aku pilih sebagai kalimat pembenaran atas sikap-sikapku yang dulu.


#2

Setelah ujian tengah semester 3 selesai, kuliah diliburkan selama seminggu. Tidak sedikit dari para mahasiswa yang kemudian memutuskan untuk pulang kampung. Tapi aku tidak. Waktu seminggu terlalu sebentar untuk perjalanan ke Jawa Timur. Belum lagi biaya yang harus dikorbankan untuk membeli tiket pesawat, atau paling tidak tiket kereta api. Meski dari dulu pesawat tetap menjadi transportasi favoritku demi memangkas waktu.

Seminggu itu aku memilih untuk menghabiskan waktu dengan menjelajah Jakarta bersama teman-temanku. Mengenal bangunan dan peninggalan sejarah batavia di Museum Kota Tua, hunting foto kesana kemari untuk menyalurkan hobi lamaku dalam hal fotografi, kencan dengan dawai gitar yang gemar aku mainkan di studio musik, membentuk otot di tempat fitness langgananku, dan juga beramai-ramai nonton pertandingan Persija di Gelora Bung Karno. Semua kegiatan itu sukses besar untuk menguapkan semua beban kepala akibat distraksi yang timbul dari efek ujian tengah semester. Aku merasa bebas. Aku merasa punya duniaku sendiri yang tidak lagi diatur oleh aturan kampus yang menyebalkan. Meski sesekali aku ingat kamu yang seminggu itu sengaja aku abaikan.

Jangan bilang aku lupa kamu. Tidak akan semudah itu, Prill. Aku hanya perlu waktu untuk menenangkan diri sebentar. Sampai kepalaku kembali terasa ringan. Kamu pasti tahu bagaimana dulu aku selalu stress setelah habis ujian. Aku tidak bisa setenang kamu untuk menunggu hasil yang bisa jadi tidak sesuai dengan harapanku. Ambisiku dan obsesiku saat remaja tidak mudah untuk ditaklukkan. Aku selalu ingin menjadi yang terbaik. Sempurna. Tanpa ada yang meleset sedikit pun dari target.


#3

Hari pertama aku masuk kelas setelah liburan tengah semester selesai, aku sengaja duduk di sebelahmu. Kamu pun tersenyum ramah ketika menatap kehadiranku. Tapi tidak mengeluarkan kalimat apa-apa sebagaimana biasa. Kamu hanya membaca buku di mejamu tanpa melirikku lagi setelahnya. Aku pun kemudian menyibukkan diri dengan ponselku. Bahkan hingga dosen menyelesaikan materinya, kita masih saja terjebak dalam suasana hening tanpa suara. Sampai akhirnya aku tidak tahan lagi untuk menghentikan gerakanmu yang tengah sibuk merapikan buku demi bergegas meninggalkan kelas.

"Prill."

"Iya Ar?"

"Nanti malem..."

"Aku duluan ya."

Nadamu ramah. Sambil tersenyum malah. Penolakanmu sangat halus, tapi rasanya berhasil melukai egoku. Mendengarnya, aku langsung terdiam di tempat dudukku. Sementara kamu berlalu keluar kelas bersama Atikah tanpa rasa berdosa sedikit pun. Seolah-olah tidak mengerti jika kamu sudah menyakitiku dengan begitu parah. Kalau kamu mau tahu, sikapmu hari itu cukup membekas di hatiku sampai kurang lebih seminggu. Itulah alasan kenapa aku tidak menghubungimu lagi selama itu.

Untuk APRILLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang