PART 10: PENOLAKAN (Revisi)

102 3 0
                                    

"Penolakanmu justru ingin aku anggap ujian dan pembelajaran agar sikap impulsifku bisa terbenam."


#1

Percaya diri itu kunci untuk tetap hidup katamu. Aku setuju. Tapi perlu menjadi dewasa dulu untuk mengerti kalau masalah utama dalam hubungan kita yang dulu adalah karena kunci hidupmu itu sendiri. Tentang aku yang tidak berani meyakini kalau kamu menganggapku lebih dari seorang teman. Sementara kamu dengan pikiranmu yang menganggap dirimu tidak lebih penting daripada Martha. Ya, faktanya kita berdua memang tidak lebih dari dua orang yang saling tidak percaya diri. Terjebak dalam perasaan yang hampir mati. Berminggu-minggu bertahan untuk saling menyendiri. Berusaha menemukan titik keberanian yang semakin hari justru tenggelam lebih dalam lagi.

Untuk bagian ini, rasanya aku benar-benar kesulitan menemukan kalimat yang tepat untuk menuliskan tentang bagaimana kita melewatinya dulu. Tanganku rasanya kaku. Otakku beku. Lagi-lagi aku kehilangan rasa percaya diri karena kamu. Khawatir kalau semakin aku membahasnya, luka lamamu akan tergores kembali. Egomu bisa terluka. Atau parahnya, kamu tidak mau menyelami pikiranku di bagian berikutnya. Padahal masih banyak hal yang perlu diluruskan dalam berbagai tikungan tajam yang sudah menjatuhkan kita sedalam ini.

Sekali ini saja. Berjanjilah kalau kamu tidak akan terluka karena kalimatku. Berjanjilah kalau setelah ini kamu tidak akan semakin kesulitan untuk memaafkanku. Apalagi berpikir untuk berlari lebih jauh lagi dariku. Cukupkanlah. Kita sudah terlampau jauh sekarang. Jangan bergerak yang lebih banyak lagi. Aku ingin sekali saja kita bisa saling menguatkan untuk menabung rasa percaya diri. Bersama-sama menatap senja agar tidak lagi kehilangan jingga yang sempat tersembunyi.

Kalau kamu mau tahu, aku selalu takut menatap matamu sejak hari di mana kamu menyatakan tidak ingin dekat dengan aku lagi. Takut menerima kenyataan kalau yang tertinggal di sana, hanya sorotan kebencian. Jadi aku lebih memilih tempat duduk yang jauh darimu di kelas. Meski samar-samar aku masih mendengar suaramu. Beberapa kali saat dosen memberimu kesempatan untuk menjawab pertanyaannya. Aku hanya sedang tidak ingin berpikir lebih banyak lagi. Semua kesalahpahaman itu sudah lebih dari cukup untuk menyiksaku. Parah. Aku tidak ingin ada analisa lain tentangmu yang justru membuatku semakin berkecil hati.

#2

Seingatku masalahku denganmu sejak ada Martha adalah masalah terumit pertama dalam 20 tahun umurku di dunia. Seperti pandemi virus yang perlahan menggerogoti hingga ke sendi-sendi perasaan. Panas dingin, dan menjalar sampai membuatku meriang. Bahkan semakin parah setiap kali aku scrolling chat history kita sejak semuanya masih terasa sangat baik-baik saja. Sudah sejauh itu ternyata. Lalu yang tertinggal hanya ada aku yang terjebak dalam sebuah labirin yang berujung buntu.

Beban perasaanku rasanya sudah semakin berat. Sampai aku harus berkali-kali meminum beberapa obat untuk menghilangkan efek-efek yang sudah mulai timbul di raga. Mungkin karena terlalu banyak pikiran. Tanpa kamu mau peduli sedikitpun. Bahkan saat kamu menyaksikan secara langsung obatku yang bertumpuk di meja kantin saat kita rapat persiapan malam keakraban. Saat teman-teman yang lain sibuk menanyakan keadaanku yang pucat dan mata memerah seperti zombie. Kamu justru memilih membuang pandangan ke arah lain sambil melanjutkan menikmati makananmu.

Pertama kali aku memberanikan diri untuk mengajakmu berbicara lagi adalah saat aku dengan sengaja mengambil jadwal mengajar yang sama denganmu. Di hari di mana aku tidak tahan lagi untuk berdiam diri lebih lama. Saat aku sudah begitu yakin kalau kamu sudah siap menerima penjelasanku yang sebernarnya tentang Martha. Aku ingin memperbaiki semuanya sebelum kamu terlalu jauh. Sebelum langkah kecilku tidak sanggup mengejarmu lagi. Bahkan aku sudah menyiapkan banyak amunisi demi menahan emosi menghadapi apapun yang akan kamu tunjukkan padaku sore itu. Penolakan, amarah, cacian, makian. Semua sudah aku ramalkan. Tidak apa. Jika semua bisa meluapkan emosimu. Menamparku pun tidak akan aku anggap masalah. Silahkan melakukan sesuka hatimu.

Untuk APRILLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang