[]
Setelah beberapa jam menempuh jalur udara. Jungkook harus dibuat sedikit keheranan akibat bosnya sendiri yang meminta mereka menaiki pesawat kelas ekonomi. Yah, untuk sekelas seorang CEO menurutnya perusahaan tidak akan rugi bandar kalau mereka menaiki pesawat kelas atas. Tapi sudahlah, pasti bosnya punya alasan sendiri.
Dan alasan itulah yang membuat Jungkook ingin mengetahuinya. Berbekal dua koper sedang, pakaian rapi namun tidak begitu resmi. Bosnya sendiri yang meminta dan dirinya hanya bisa menuruti, daripada gajinya nanti terpotong. Sumpak, ramai, begitulah keadaan bendara di ibukota salah satu negara di Asia Tenggara itu. Bulan mereka datang rupanya sedang terjadi masa suhu udara sedang tinggi-tingginya. Peluh tidak bisa dihindari, mobil ber-AC. Iya, dia butuh itu.
Kejutan selanjutnya adalah, bukannya sebuah hotel bintang lima yang mereka akan datangi. Atau salah satu resort milik relasi bisnis. Melainkan sebuah motel. Motel di pertinggaan sebuah gang, Jungkook tidak tahu bosnya tahu dari mana tempat terpencil itu. Yang masih dilegakan, tempatnya bersih meski sepi seolah tidak ada pengunjung.
"Kau mau satu kamar apa tidak?"
Bosnya bertanya, lalu Jungkook menjawab. Tentu saja menjawab dengan tolakan adalah yang terbaik. Lagian, mereka butuh ruang privasi dan bosnya menyetujui.
"Tolong buatkan proposal yang bahannya sudah disiapkan. Nanti malam aku akan ke kamarmu."
Mereka kemudian berpisah, di lorong motel yang di mana hanya berisikan lima pintu. Rupanya dua kamar sudah terisi, dan kamar mereka tepatnya berseberangan.
[]
"Iya, Bu. Aku sudah makan, jangan terlalu khawatir. Aku tidak mau ibu sakit."
'....'
"Iya. Baik, dah Ibu!"
Telepon usai ditutup begitu saja. Jungkook menghela napas kasar. Membaringkan tubuhnya di atas kasur ukuran untuk satu orang saja. Motel ini benar-benar sederhana, harganya pasti minimalis menurut perhitungannya. Sementara itu, Jungkook harus berbohong kepada pertanyaan ibunya. Bohong. Dia belum makan sejak siang, karena di pesawat mereka tidak mendapat makan siang lalu sorenya ke motel tanpa mampir ke salah satu tempat yang menjual makanan.
Sementara di dekatnya terpampang jelas layar laptop yang sedang memperlihatkan tugasnya. Sudah jadi dan waktu sudah malam. Perutnya kosong luar biasa, Jungkook butuh amunisi tapi tubuhnya terlampau lelah terutama otaknya.
Sebenarnya ini bisa menjadi perjalanan yang menyenangkan dan tentunya menambah pengalamannya. Tetapi, Jungkook tak menduga bahwa ekspetasi kecil yang dia punya rupanya diinjak habis oleh kenyataan. Dia tidak menduga begitu saja, hanya berusaha rasional tapi kenyataan membohonginya begitu saja. Dia juga tak ingin menjadikan ini adalah perjalanan yang buruk. Tidak. Justru seharusnya dia senang, iya, karena sudah diberi kepercayaan oleh bosnya sendiri dalam menemani perjalanan bisnis.
Pintu merah gelap itu diketuk sebanyak dua kali. Jungkook lantas terbangun, buru-buru membuka pintu. Menemukan bosnya dalam pakaian yang lebih santai; celana training panjang hitam dan jaket berwarna putih tulang. Sungguh, bosnya ini terlalu seperti model.
"Proposalnya sudah?"
Jungkook laksana mengangguk sembari mempersilakan bosnya masuk. Hanya ada dua kursi kecil lalu teve. Sisanya kasur, lemari kecil, nakas dan kamar mandi. Sungguh simpel, pasti harganya juga begitu.
"Kau lapar, Jungkook?"
Ada sebuah desiran tersendiri tiap kali namanya disebut begitu. Jungkook tidak tahu ini perasaan jenis apa, tapi dia yakin bahwa ini hanyalah bentuk penyesuaian. Dia butuh penyesuaian karena akan bekerja secara serius dan visioner di bawah pimpinan seseorang.
"Begitulah, Pak Bos."
Tanpa diduga-duga, ponsel hitam keluaran terbaru itu sudah berpindah tangan. Dengan gelagap, Jungkook menerimanya. Sempat tremor karena takut-takut dia salah tingkah--atau malah salah berekspetasi kembali.
"Ada aplikasi pengantar makanan di sana. Pesan sesukamu tapi dengan porsi dua kali lipat."
Menjerit. Dalam hati. Kenyataanya Jungkook hanya bisa berterimakasih banyak. Pesta makanan sebentar lagi!
[]
Seminggu yang terasa singkat. Relasi bisnis yang menyenangkan meski tetap saja ada kendala teknis. Semuanya bisa diatasi dengan mudah, ini masih pengalaman pertama dan Jungkook sudah menemukan banyak pelajaran di sini. Entah etika dalam dunia bisnis, penyesuaian diri terhadap budaya orang lain, belum lagi perspektifnya yang mulai berubah satu persatu. Tidak banyak tapi tidak sedikit juga.
Lalu, sifat bosnya itu. Benar-benar di luar nalarnya. Seminggu ini lebih banyak dihabiskan di kamarnya sendiri. Bahkan ketika Jungkook bangun, dia sudah melihat bosnya sedang duduk manis bersama laptop yang entah sejak kapan menyala. Seperti tanpa lelah. Bosnya hanya bertanya apa dia lapar, menyuruhnya sesuai dengan tugasnya. Lalu sisanya hanya kekosongan. Tapi dari situ pun Jungkook bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang selalu bosnya ingin tunjukkan padanya.
Rupanya, ini adalah perjalanan yang bagus untuknya.
[]
Penebarangan tinggal beberapa menit lagi. Pesawat nyaris take off dan para penumpang sudah menempati kursi mereka masing-masing. Pramugari sedang menjelaskan cara penyelamatan diri dan hal-hal bersangkutan. Lagi, mereka kembali dengan pesawat kelas ekonomi juga.
Tak mengherankan badan pesawat yang lebih sempit, jarak tiap kursi yang membuat kaki sulit diluruskan. Pergerakan terbatas belum lagi tak senyaman kelas atas. Jungkook duduk di sebelah jendela, memperhatikan lapangan bandara yang luas sejauh mata memandang.
Genggaman hangat itu membuatnya terlonjak, nyaris menjerit. Ketika menoleh, dia menemukan tangannya digenggam oleh tangan lain. Sebuah tangan yang lebar dan jari-jarinya ramping, bahkan urat-uratnya terlihat berlapis kulit tan yang rupanya seksi.
Jungkook gugup setengah hidup, tidak tahu harus bagaimana saat ini. Jantungnya berdebar kencang, tubuhnya tidak nyaman di posisi duduknya sedangkan napasnya sedikit kaku. Astaga, bosnya menggenggam tangannya tanpa melihat ke arahnya. Wajah bosnya hanya tertuju pada pramugari di depan sana. Cantik, sih. Tapi apa relasinya dengan menggenggam tangan Jungkook?
"Pak Bos...."
"Kau tahu? Pramugari di sana sebenarnya terlalu gugup."
Laksana Jungkook turut menoleh ke depan. Benar saja, gerakannya sempat terhenti dan terulang beberapa kali. Belum lagi senyumnya yang lebih dipaksakan. Tapi tentunya para penumpang tidak terlalu mempermasalahkan itu. Malah dari antara mereka ada yang berharap pramugari itu cepat selesai.
"Kurasa dia masih baru."
"Apa hubungannya baru dengan gugup? Sekali pun kau sudah lama bekerja menjadi pramugara, kau tetap saja bisa gugup."
Kalimat itu benar. Jungkook terdiam, tidak tahu lagi harus membalas apa. Dia hanya mengangguk, bungkam tapi bosnya belum mempersilakannya.
"Begitulah kau. Jangan karena baru pertama kali, kau bisa menerima kenyataan bahwa kau salah. Tapi berusahalah untuk meminimalisirkan kesalahan, itulah gunanya perencaan matang. Memikirkan apa yang bisa terjadi dan cari solusinya, kemudian temukan alasan mengapa bisa terjadi. Bekerja denganku tidak memandang baru apa tidak. Tapi siap atau tidak. Pramugari tadi, dia hanya kurang siap."
Omongan itu seperti mantra. Betul, mantra yang membuat Jungkook diam. Mengangguk kali ini dengan yakin, meski gerakannya kaku. Dan genggaman tangan itu, merambat menjadikan sela-sela jari mereka bersatu. Jungkook tisak sanggup menatapnya, malahan menatap wajah tampan di sebelahnya.
Bosnya memang tampan.
"Pelajaran kali ini. Rencana selalu dibutuhkan. Lagi, penyesuaian tidak bergantung pada waktu."
....