4. Place

2.2K 485 31
                                    

[]

Selepas kejadian di sore hari itu, sebenarnya Jungkook baru bisa pulang setelah jam makan malam. Itu pun diantar oleh bosnya sendiri. Jungkook sempat ragu namun kuasa bosnya jauh lebih kuat dari dirinya.

Pekerjaan berjalan seperti biasa dan wanita itu tetap datang paling tidak tiga kali dalam seminggu. Biasanya di hari Selasa, Kamis dan Sabtu. Karena hari Minggu dirinya libur. Dan sampai sekarang pun, Jungkook belum tahu siapa gerangan wanita itu dan rahasia apa yang akan bosnya berikan.

Entah omongan sore itu hanyalah bualan atau kebenaran. Tapi Jungkook mencoba kembali fokus pada hidupnya terutama pekerjaan. Karier yang sempat dia dambakan ketika masih sekolah. Setidaknya ilmunya ketika kuliah dapat dia pakai dan terapkan.

Beberapa minggu ini, dirinya harus dipaksa lembur. Tidak hanya dirinya tapi beberapa karyawan dan juga bosnya. Ada sebuah fakta menarik di kantornya. Bahwa bos mereka tidak akan pulang sebelum semua karyawan pulang; khusus untuk lembur. Karena, perusahaan mereka baru saja memulai kerja sama dengan perusahaan serta ditanam oleh beberapa saham yang menjanjikan. Semuanya sibuk mendata, membuat perencanaan dan laporan. Rapat mulai diadakan lebih sering.

Hingga mungkin tiba di suatu puncak. Jungkook baru saja menyelesaikan laporannya yang terakhir. Para karyawan sudah pulang karena larut telah sampai. Suara keheningan menerkam dalam diam, langkah kakinya atau pergerakannya terdengar di bawah cahaya lampu 100 watt yang menyala bederang.

"Jungkook, tolong ke ruanganku."

Bosnya hari ini memang tetap seperti biasanya. Malahan seharusnya dia senang, karena mereka sudah resmi mendapatkan kenaikan saham serta investasi yang menggiurkan. Perusahannya semakin maju, media mulai memuat tapi semuanya seolah tidak berarti apa-apa. Hanya seperti kata tanpa makna yang diabaikan si pengucap.

Karena malam itu, bosnya menangis. Menangis dalam remangnya ruangan dengan latar belakang rembulan di atas langit.

Tubuh itu bergetar kecil, merengkuh tubuh lain yang sudah sejenis dengan patung hiasan di museum. Gendang telinga itu menangkap suara napas yang memberat, tubuh itu menerima getaran kecil lalu terakhir bahunya yang basah oleh air mata.

Bosnya menangis, seolah tanpa sebab yang Jungkook ketahui. Menangis dengan memeluknya, tepat di belakang pintu yang ditutup. Tepat ketika angka 12 disentuh jarum pendek dan tepat ketika dirinya telah lelah--Jungkook lelah dengan pekerjaannya. Ketika bosnya menangis seketika kosonglah pikirannya.

Reaksinya hanya mengusap punggung tegap itu dengan lembut. Canggung mengingat mereka adalah atasan dan bawahan. Tapi malam itu, sekat di antara mereka seolah sirna begitu saja. Seperti leleh oleh cahaya purnama yang menyelinap masuk.

"Tenang, Hyung. Kau pasti kuat."

[]

Adanya sinar mentari menjadikan kedua pasang mata tertutup itu mengernyit, kesadaran terusik begitu saja. Perlahan tapi pasti, keduanya mulai terbuka. Mengerjap beberapa kali sebelum kesadaran benar-benar kembali.

Jungkook menemukan dirinya terbangun di sebuah kamar empuk nan nyaman. Kamar berukuran sedang dengan dominasi hitam dan putih. Lebih dominan putih sebenarnya. Kasur yang dia tempati sekarang mungkin pas untuk dua orang. Pintu kamar itu dibuka begitu saja, tatapan mereka seketika bertemu.

"Selamat pagi."

Sapaan itu, adalah sapaan pertama dari bosnya di pagi hari yang cerah ini. Lampu belum dimatikan, sehingga Jungkook dapat melihat dengan jelas siapa yang barusan berucap. Kedua mata dan telinganya tidak salah, kawan. Ini sungguhan, Jungkook terbangun di kamar bosnya sendiri.

"Sudah merasa segar?"

Tertawa kecil, iya bosnya tertawa kecil. Jungkook mengangguk dengan senyuman kecil karena canggung. Pakaiannya berganti menjadi piyama hangat yang sedikit kebesaran. Astaga, dia sudah lancang sekali kepada bosnya sendiri.

Bosnya kemudian menghampiri, duduk tepat di pinggir kasur, buru-buru Jungkook ikut duduk di sebelahnya. Merasa tidak enak, sementara bosnya hanya menyeringai ramah sambil menoleh kepadanya.

"Terima kasih. Kurasa itu yang harus kukatakan padamu. Selain karena kau sudah bekerja keras seminggu ini, kau juga telah menjadi tempatku seperti semalam."

Tempat? Apa yang dimaksud dengan tempat? Semalam? Jungkook memang ingat, semalan bosnya menangis dan akhirnya Jungkook malahan yang terlelap begitu saja. Kini dia semakin merasa tak enak setelah sadar bagaimana bosnya bisa membawanya kemari.

"Tidak ada lagi yang bisa kujadikan tempat, Jungkook."

Lagi, bosnya berkata. Seolah Jungkook sedang menunggunya, tiupan angin dari kaca jendela yang terbuka menjadikan tubuh mereka sedikit meremang karena udara dingin saat ini berlangsung. Suaranya terdengar lembut, Jungkook mendadak diam menikmati. Bosnya yang pas-pasan jika berbicara, memiliki suara khas yang seringkali membuatnya nyaman.

"Padahal kau bisa menolak malam kemarin. Tapi tidak, kau tetap di sana dan menemaniku. Sungguh, kau mungkin satu-satunya."

"Maksudnya, Pak Bos?"

Setelah lama bungkam, Jungkook pada akhirnya memilih berbicara. Setelah dia dibuat kebingungan karena makna kalimat bosnya sendiri.

Bosnya tersenyum, menoleh padanya dan kembali berkata, "Kau, mungkin selama ini baru kau sekretarisku yang pernah melihat sisi lainku. Atau katakanlah sisi lemahku."

Jungkook menggeleng. "Setiap orang berhak menangis, hanya saja tidak semua mau dilihat orang lain. Menurutku menangis bukan kelemahan, tapi hanyalah pengungkapan ekspresi jiwa yang berlebih."

"Kau benar. Mungkin aku benar-benar tertekan sampai tidak tahu batas bagaimana cara mengungkapnnya lagi."

Keduanya tersenyum. Entah perasaan apa ini, Jungkook segera lega manakala senyum itu ada. Terbit lebih indah dari matahari, meski tidak tertuju ke arahnya tapi Jungkook menikmatinya seolah untuknya.

[]

Seperti ada ikatan yang terjadi. Jarak itu seperti memendek, seperti ada sebuah katalis yang menjadikan sekat itu meluluh. Jungkook menikmati pekerjaannya, meski lelah tapi dia bangga atas hasilnya sendiri. Belum lagi relasi-relasinya yang menyenangkan. Meski katanya dunia kerja itu kejam, tapi Jungkook bisa menikmatinya.

Hubungan dengan bosnya semakin membaik dari sebelumnya. Kecanggungan itu usai begitu saja, diam di antara mereka hanyalah karena tidak adanya pembicaraan. Para karyawan pun mulai curiga, lantas apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua.

"Kau hebat, Jungkook. Setelah dua tahun, baru kali ini Pak Bos benar-benar terasa hangat. Dulu sekali, dia sangat kejam dan tegas tapi perhatian." Jaebum mengeluarkan pemikirannya akhir-akhir ini.

Disahuti karyawan lain, mereka setuju. Apa yang terjadi pada bos mereka benar-benar di luar ekspetasi. Sementara Jungkook hanya bisa tersenyum untuk menanggapinya.

"Omong-omong, sekretaris sebelumnya mengapa berhenti?" Jungkook baru kali ini bisa menanyakan pertanyaan yang kerap kali hinggap di benaknya.

Karyawan lain mendadak diam. Tidak tahu harus menjawab apa, semuanya bungkam lantas menjadikan Jungkook keheranan meski dia juga sadar bahwa mungkin ini adalah topik yang sensitif.

"Dia dipecat," imbuh Jaebum ketika seluruhnya memilih bungkam.

"Karena?"

"Nyaris membunuh Pak Bos."

....

A.N

wow, ga nyangka masih ada peminat buku aku 😂. makasih sebelumnya.

dan aku mau minta pendapat, menurut kalian cerita ini lebih baik dikasih adegan rated atau tidak? beri alasannya juga ya, kalau tidak atau iya. karena aku juga nggak bisa gitu aja kasih adegan rated tidak penting.

thnks.

Stereotyp: Wir leben in der Gesellschaft [TAEKOOK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang