"Halo, bagaimana kabarmu, Nak?"
"Baik kok, Bu. Ibu bagaimana? Maaf ya aku belum sempat menengok ibu lagi."
"Tidak apa-apa, Nak. Kamu pasti sibuk belajar ya?"
"Iya, Bu. Minggu depan aku akan ikut olimpiade nasional. Doakan aku ya, Bu."
"Setiap saat ibu mendoakanmu, kok."
"Makasih, Bu."
"Tapi, bisa tidak besok kamu ke sini sebentar saja?"
"Hmm, mudah-mudahan bisa bu. Memangnya kenapa?"
"Tidak, ibu kangen saja ingin mengobrol denganmu. Lalu, ada yang ingin ibu sampaikan juga..."
'Kriiinng', alarm mulai berteriak membangunkan si pemilik, seorang gadis yang terjaga dengan sedikit terkejut. Badannya dengan spontan bangkit, memutarkan tubuh seratus enam puluh derajat untuk membungkam alarm di belakangnya.
Ana, yang empat hari lalu baru saja memasuki usia ke tujuh belasnya, termenung sesaat di atas kasur. Dia tidak langsung berjalan ke arah kamar mandi seperti biasa. Padahal hari ini dia masih harus pergi ke sekolah.
'Huft', diembuskannya napas setelah mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Pagi ini ada perasaan aneh yang bersemayam di dalam hati, berkat mimpi tidak mengenakkan muncul di tengah tidurnya.
Terhitung sudah hampir lima puluh hari sejak ibu Ana meninggalkannya untuk selamanya. Kesedihan tentu masih terasa di dalam dada. Terkadang membuat Ana harus menangis di dalam tidurnya. Hanya saja dia tidak ingin terus larut dalam kesedihan. Karena Ana berpikir, ibunya tidak akan bisa tenang jika dia terus-menerus bersedih setiap saat.
Meskipun begitu, hingga saat ini masih ada satu hal yang mengganjal dalam hati anak berambut panjang itu. Satu hari sebelum kepergian sang ibu, Ana baru saja ditelepon dan mendapatkan permintaan untuk datang ke rumah sakit. Namun hari berikutnya, Ana tidak memiliki kesempatan untuk berbicara secara langsung dengan sang ibu, karena wanita yang telah melahirkannya itu telah pergi lebih dulu. Padahal jelas-jelas Ana masih ingat bahwa sang ibu berkata akan ada hal yang ingin disampaikan kepada anak perempuan satu-satunya itu. Namun kini, hal tersebut harus terkubur selamanya, hingga nanti saatnya mereka bertemu lagi di kehidupan selanjutnya.
Ana kembali menghela dan menghembuskan napas, berusaha menghilangkan semua kegelisahan dalam dadanya. Dia menengadahkan kepala ke langit-langit kamar demi membendung air mata yang masih mendesak keluar. Tak lama kemudian, dia pun segera berjalan cepat menuju kamar mandi. Membasahi kepalanya agar kembali dingin dan siap diajak beraktivitas seperti biasa.
Pukul tujuh Ana pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Tidak butuh waktu banyak baginya untuk bisa sampai ke tempatnya menuntut ilmu tersebut. Setelah sampai, dia segera melakukan rutinitas yang sepertinya tidak pernah berubah sedari pertama kali dia duduk di kelas satu. Belajar, belajar, dan belajar, itulah yang selalu ada di dalam jadwal hariannya. Sehingga tidak heran jika sejak awal Ana terkenal sebagai murid dengan prestasi yang gemilang dan menjadi favorit para guru.
"Yak, sekarang aku sudah berada di kelas murid nomor satu di sekolah ini! Dia adalah Ana Fransisca!" seoarang anak berkaca mata mengejutkan Ana yang tengah berkutat dengan kumpulan soal matematika. Dia tidak kenal siapa anak tersebut, namun dia tahu bahwa sang anak berkacamata dan temannya yang sedang merekam dengan kamera handphone merupakan anggota klub jurnalistik. "Halo Ana!" sapanya. "Boleh aku wawancara sebentar?"
Ana yang merasa sedikit risih hanya mengangguk dan berharap gangguan akan pergi dengan cepat. Sang reporter pun kembali berbicara. "Wah hebat ya, di saat istirahat saja sang juara kelas masih terus belajar! Nah sekarang, pasti semua penasaran kan dengan cita-cita bintang kita ini? Yuk kita dengar aja langsung!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Other Dimension
Short StoryKumpulan cerita pendek yang akan membawamu pergi menuju tempat yang akan mengubah pandanganmu terhadap dunia. Mungkin kamu akan berpikir bahwa semua ini hanyalah khayalan semata. Namun aku tidak pernah berpikir bahwa semuanya mustahil untuk terjadi...