Satu Dunia, Dua Kehidupan

464 48 0
                                    

Selama ini kupikir hanya orang-orang yang membenciku

Apakah kini dunia pun sama-sama tidak menyukaiku?

Setiap hari aku terbiasa menerima tatapan tajam dari orang yang berlalu lalang dengan perasaan jijik. Memandangku tak beda dengan tumpukan sampah yang hanya didekati oleh para lalat. Berkelana tak kenal arah dan tujuan, karena memang aku tidak memiliki tepat untuk menetap. Makan bersama para kucing dan anjing liar, mengandalkan belas kasihan orang-orang yang mungkin hanya ada satu dari sejuta.

Namun, selama ini aku merasa tidak pernah kehilangan harapan dalam hidupku, karena ayah dan ibu selalu ada menerangi hari gelapku. Ketegaran mereka membuatku tak pernah berpikir bahwa duniaku ini seburuk yang selalu orang bayangkan. Bahkan aku tidak keberatan terus hidup seperti ini asalkan kedua orang yang paling kusayangi itu ada di sisiku.

Ya, aku selalu berpikir seperti itu, tanpa sadar telah melupakan sesuatu yang penting. Bahwa hidup tidak pernah bisa aku prediksi. Orang terlahir dan mati setiap hari. Dan kali ini, takdir memutuskan untuk merenggut dua orang sumber kebahagiaanku dari dunia. Kini, aku benar-benar merasakan seperti apa sakitnya kesendirian. Hidup di tengah dunia yang dingin tanpa sumber kehangatan yang selama ini selalu melindungiku.

Aku pun mulai mencoba untuk bertahan seorang diri. Tetap berharap belas kasihan kepada satu dari sejuta orang yang ternyata perlahan mulai menghilang. Aku yang tak kunjung berubah ini mungkin menjadi satu-satunya yang merasakan benar perubahan di dunia.

Dahulu aku sering merasa tak nyaman dengan tatapan penuh kejijikan dari orang yang melintas. Tapi kini, aku merasa mulai merindukan hal itu. Ternyata pandangan tersebut membuatku lebih hidup dan merasa lebih diperhatikan. Tak peduli apa yang mereka pikirkan sebenarnya tentangku. Namun, kini mereka semakin tidak mempedulikanku. Jangankan untuk memberiku sebutir nasi, memandang pun sudah tidak pernah mereka lakukan. Rasanya semua orang mulai berjalan tertunduk memandangi benda segi empat yang tidak mungkin bisa aku miliki.

Baru pertama kali dari sebelas tahun yang telah kulalui, hidup ini terasa sangat menyiksa. Aku mulai tidak yakin berapa lama lagi aku bisa bertahan. Semua terasa hampa dan menyakitkan. Ditambah lagi kala aku melihat anak-anak seusiaku yang masih bisa tertawa riang, bermain dengan bebasnya dan bersekolah bersama teman lainnya. Setidaknya aku ingin merasakan hal itu sekali sebelum takdir mempertemukanku kembali bersama ayah dan ibu.

"Apa yang kamu lakukan di sini, nak?" seorang kakek menyapaku setelah sekian lama tidak ada orang yang mau datang mendekat. Mungkin karena faktor umur, indera penciumannya sudah tidak berfungsi lagi. Tapi, aku tidak peduli, karena sejujurnya aku merasa sangat senang.

"Tidak ada," jawabku tanpa memperlihatkan ekspresi apapun.

"Kalau tidak ada yang kamu lakukan, kenapa tidak pulang ke rumah saja?" tanya kakek itu dengan polosnya.

"Aku tidak punya tempat tinggal."

"Ayah dan ibumu?"

Aku menggeleng. Sementara sang kakek terdiam sejenak.

"Apa kamu mau pulang bersamaku? Kebetulan aku hanya tinggal sendiri. Meski rumahku hanya gubuk reyot, tapi bangunan itu rasanya masih terlalu besar untukku sendiri."

Biasanya para orang tua melarang anaknya untuk pergi dengan orang yang tidak dikenal. Tentu saja aku merasa sedikit khawatir karena sedikitnya ada kemungkinan bahwa kakek tersebut bukan orang baik-baik. Tapi... kupikir karena pasti sudah tidak ada yang mau mengharapkanku, kesempatan yang hanya datang sekali ini tidak boleh kusia-siakan.

"Apa tidak apa-apa?" tanyaku memastikan.

Sang kakek tersenyum. "Tentu saja. Justru aku senang karena akhirnya bisa mendapatkan teman."

Akhirnya aku pun pulang bersama Kek Darma sebutannya. Dia sudah sangat tua, usianya mungkin sudah mencapai tujuh puluh. Tapi, aku terkejut karena dia masih bertahan tinggal sendirian di dalam gubuk sederhananya yang dikelilingi dengan kebun miliknya. Rumahnya terpisah dengan warga lain. Aku tidak pernah mengerti dan tidak pernah berani bertanya karena khawatir akan menyinggung perasaannya, yang penting aku bahagia bisa tinggal dan menjadi cucu Kek Darma.

"Jami, tolong bawakan keranjang itu!"

"Baik, kek. Akan memanen apa kali ini?"

"Sepertinya, ubinya sudah bisa kita ambil."

Sudah satu minggu lamanya aku tinggal bersama Kek Darma. Kini aku merasa hidup kembali seakan orang tuaku kembali hadir menghangatkan hariku. Sejak awal kedatanganku di rumah Kek Darma, aku selalu mengikutinya kemanapun dia pergi. Meski rutinitasnya hanya dilakukan di sekitar rumah saja, tapi aku rasanya tidak pernah bosan.

Kek Darma jarang pergi ke kota karena dia sudah tidak lagi sekuat dulu untuk berjalan jauh. Saat menemukanku di kota seminggu lalu pun menjadi hari kedua setelah tiga bulan dia tidak pernah berjalan jauh. Dia berkata kadang dia berjalan jauh hanya untuk berolah raga saja. Karena untuk makan, dia hanya perlu mengambil semua dari kebunnya saja. Ubi, singkong, nangka, mangga, tanaman di kebun Kek Darma selalu berbuah lebat. Aku senang sekali karena kini bisa kembali menyicipi buah-buahan lezat yang entah kapan terakhir kali aku cicipi.

Selain itu, Kek Darma pun mengajariku berbagai macam hal. Tidak kusangka ingatannya masih sangat bagus. Bahkan dia masih ingat dengan detail berbagai kisah saat dia masih muda dulu. Setiap hari sebelum tidur aku selalu mendapatkan sebuah cerita baru hingga tak sadar telah terlelap. Awalnya aku merasa tidak enak karena merasa terlalu merepotkan, tapi setelah kek Darma berkata bahwa dia pun bahagia karena merasa memiliki cucu, aku bisa merasa lega. Aku pun sempat berpikir mungkin mulai dari sekarang akan terus tinggal bersama Kek Darma.

Akan tetapi, lagi-lagi hidup ini tidak bosannya memberikanku kejutan. Aku mulai merasakan hal aneh kala hari itu berkeliling sendiri di sekitar kebun. Aku belum pernah menjelajah ke bagian kebun yang lebih dalam karena bagian sana hanya ditanami oleh bambu. Tapi, rasa penasaran akhirnya membuatku melangkah ke sana tanpa memikirkan apa-apa.

Saat sedang berjalan sembari memandangi langit yang tertutupi oleh lebatnya daun bambu, tiba-tiba sebuah batu besar membuatku terjatuh. Seharusnya aku sadar ada batu sebesar itu bertengger di hadapanku kalau saja tidak terlalu asik memandangi langit. Tapi setelah kuperhatikan lagi, batu tersebut terlihat aneh. Bentuknya sudah tidak alami lagi, tapi aku tidak bisa melihat wujudnya dengan jelas karena tertutup daun kering. Setelah kusingkirkan daun-daun yang ada barulah aku sadar bahwa batu tersebut ternyata sebuah nisan.

Betapa terkejutnya aku saat mendapatkan sebuah nisan ada di sana. Aku tambah yakin saat melihat batu serupa tertancap tidak jauh dari batu tersebut. Dan aku yakin bahwa aku baru saja melangkahi sebuah kuburan yang entah milik siapa. Aku mengamati nisan tersebut karena merasa penasaran, tapi tak kunjung kudapati tulisan apapun ada di sana. Meski begitu aku rasa makam tersebut masih terbilang baru.

Kupikir tidak akan ada yang berubah setelahnya. Tapi, aku mulai memikirkan banyak hal. Kuburan siapa yang aku lihat itu? Entah kenapa ada yang dikubur di tempat seperti ini. Bahkan tempatnya cukup jauh dari perumahan warga. Satu-satunya bangunan terdekat hanyalah rumah Kek Darma... apa mungkin...

Aku berusaha menyingkirkan pemikiran aneh yang bermunculan. Tapi, semakin kusangkal, semakin aku temui banyak keanehan yang ada. Selama ini Kek Darma tinggal sendiri, tapi sama sekali tidak ada yang peduli. Rumahnya pun sudah mulai bobrok, entah kenapa tidak ada seorang pun yang berusaha membantunya. Seharusnya warga desa terdekat membujuknya untuk setidaknya tinggal berdekatan dengan mereka. Tapi kenapa Kek Darma masih bertahan tinggal sendiri? Apakah memang sama sekali tidak ada yang peduli atau sebenarnya... karena Kek Darma memang sudah meninggal?!

Other DimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang