1. Wan - Zodiak

8 1 0
                                    

Apa lagi yang bisa di lakukan Anita selain hanya mengumpat pada nasib naas yang selalu menimpanya begitu kaki itu menginjak ruang dosen yang sangat ia cintai. Bagaimana tidak cinta? Dia sudah tiga generasi menjadi murid ke sayangannya karena selalu gagal dalam mata kuliah dosen dengan panggilan Budiman itu. Atau memang Dosen itu yang tidak rela di tinggalkan oleh Anita, entahlah yang jelas beliau tidak se—Budiman seperti namanya.

Anita melangkah dengan lunglai menuju bagian teras kampus nyaris tanpa tenaga. Lantas memilih duduk pada kursi besi dengan bau khas nya yang berada tepat di pinggir jalan masuk ke kampus. Awalnya tidak apa-apa, dia mencoba kuat meski menjadi yang di tolak lagi untuk ke sekian kalinya. Namun, pertahanan yang ia bangun akhirnya runtuh juga. Anita menangis. Menangis karena kecewa, sedih, dan juga perasaan malu yang baru saja ia terima. Rasanya seperti setumpuk kotoran burung di lemparkan sekaligus ke arah wajahnya itu.

Sudah kadung jatuh, Perempuan itu tidak perduli pada suasana sekitarnya. Tangisnya yang semakin keras mengundang beberapa pasang mata mahasiswa yang kebetulan berada di sekitar tempat itu menoleh sambil tertawa dan menunjuk-nunjuk ke arah Anita.

“Gagal lagi?” celetuk seseorang yang kini berdiri sambil menyodorkan sapu tangan tepat di hadapan wajah Anita.

Perempuan itu menoleh. Begitu melihat sosok pemberi sapu tangan itu, tangisnya semakin pecah dan menjadi-jadi.

“udah lah nggak usah nangis. Cep...cep...cep,” Restu meng-elus-elus lembut rambut Anita. “lo kan udah biasa gagal kayak gini, ya udah lah nggak usah sampe nangis begitu! Lihat tuh, ingus lo sampe meler gitu. Lap gih, jijik gue liatnya!”

“lo kok malah ngeledek gue sih?” Anita mengelap kedua pipi yang basah dengan sapu tangan yang sudah berada di tangannya. Tidak lupa menyemprot cairan hidung yang membuat Restu meringis jijik dan sedikit menggeser posisi duduknya lebih jauh. “dasar upil kuda! Kalo lo dateng cuman mau ngeledek gue, mending pergi deh sana! Muka lo bikin sumpek!”

“Lo tadi yang sms gue. Minta di jemput. Kena pikun yah?”

Tangis Anita berhenti, ia menoleh pada lelaki bernama Restu yang duduk di sebelahnya. Anita memicingkan mata, memperhatikan lelaki itu seksama. Ia baru menyadari barang bawaan Restu yang memenuhi tas ransel besar miliknya.

“lo mau pergi latihan?”

Restu mengangguk, “iya. Masih dua jam lagi sih, cuman sekalian aja gue keluar jemput lo. Makan dulu yuk Nit!”

“nggak ah, gue mau pulang.” Anita membuang muka. Memilih memandang pada taman di seberang jalan sana.

“sebentar aja, temenin gue makan. Gue yang bayarin deh?! Mau yah?”

Anita mendesah. Tadinya ia merasa senang Restu datang memenuhi perintah menjemputnya. Tapi begitu mendengar Restu yang juga akan pergi latihan, mood—nya mendadak hilang.

“mau yah?” Restu bergerak mendekat. Memasang wajah memohon yang justru terlihat sangat menggemaskan di mata Anita. Oh, siapa yang bisa menolak jika Restu mulai bersikap seperti itu.

mec,,. Iya iya ah! Ya udah cepetan, sebelum gue berubah fikiran!” seru Anita sembari mengangkat tubuhnya berdiri. Ia tunggang langgang terlebih dahulu. Memposisikan dirinya naik pada jok belakang motor yang terparkir tak jauh dari tempat mereka duduk.

“ayo cepetan!” sergahnya.

💦💦💦

Tidak ada yang lebih menyenangkan selain menikmati segarnya es krim di siang hari yang begitu terik. Apa lagi duduk berdua dengan Restu. Bersenda gurau, atau sekedar membicarakan tentang beberapa kegiatannya hari ini, atau bahkan saling melempar lelucon garing yang membuat mereka saling tertawa bersama. Anita benar-benar sangat menyukai saat-saat seperti ini.

Sister ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang