Past

54 1 0
                                    

Masa lalu hanya sebuah story yang tak akan bisa diubah dan hilang didalam memory. Kini hanya tinggal sebuah kenangan yang tak terlupakan.

.
.
.

Suara ketikan demi ketikan yang terdengar diruangan apartemen yang terkesan maskulin itu dengan perpaduan warna abu-abu, putih, dan hitam serta dipenuhi pernak-pernik yang berbau Avion. Rehan terlihat sangat lincah dengan jari-jarinya diatas kayboard laptopnya, ia sangat semangat mencari informasi tentang Cion sahabat kecilnya bahkan bisa dikatakan cinta pertamanya. Rehan sudah mendapatkan informasi dari informannya semalam tentang jati diri Daffa hal itu mempermudah untuk menemukan sahabat kecilnya itu. "Aku akan mendapatkanmu Ion sahabat kecilku. Apapun resikonya aku akan tanggung semuanya" Rehan tersenyum simpul. "Ya karena kau....Ion adalah pelengkap hatiku yang telah hilang selama ini" guman Rehan. Suara getaran ponsel Rehan menghentikan aktivitasnya.

"........" suara diseberang

"Pantau terus jangan pernah kau kehilangan jejek sedikit-pun. Aku tidak mau kehilangan kesempatan kali ini. Lakukan saja apa yang petintahkan!" tegas Rehan, lalu ia menutup telponya.

Rehan menarik nafas panjang sembari tersenyum tipis. "Inilah salah satu tujuanku kembali ke Indonesia untuk mencarimu Ion" guman Rehan. "Semoga aku bisa bertemu denganmu Ion" doa Rehan.

Rehan tak henti-hentinya tersenyum hingga ia tidak menyadari bahwa sedari tadi Revan telah memerhatikannya. "Ada apa denganmu, bung?" tanya Revan sembari duduk tepat dihadapan Rehan.

Rehan mengernyit karena Revan tiba-tiba bertanya seakan-akan tidak terjadi sesuatu semalam. "Hai! Lo ini kenapa? Hem. Lo natap gue seakan-akan lo lagi melihat hantu. Horor tau gak!." cerocos Revan tanpa dosa.

Rehan masih tanpa menjawab pertanyaan Revan dan masih tetap menatap Revan dengan penuh pertanyaan.

Revan berdiri dan berpindah tempat disamping Rehan. "Woi" Revan meninju lengan kekar Rehan. "Entar lo kesambet tahu rasa lo!"

Seketika Rehan menelan salivanya. "Bukannya lo marah sama gue?" tanya datar Rehan.

Revan menautkan alisnya sembari memegang kepalanya yang masih terasa sakit dan pusing. "Aww" ringis Revan. "Marah? Kenapa gue harus marah?."

Rehan berdehem. "Hem, bukannya lo sendiri bung yang marah-marah sama gue semalam?." tanya sinis Rehan

Nampaknya Revan bingung atas perkataan Rehan ia tidak mengerti apa yang di maksud oleh sepupunya itu dan sama sekali ia tidak mengingatnya. "Semalam? Seingatku gue hanya pergi menghadiri keputusan konyol di mancion, terus gue..... Aww" Revan memegang kepalanya yang terasa seperti dihantam beton.

"Jadi lo lupa kalau lo itu mabuk berat semalam?." tanya Rehan dengan suara tingginya.

"Mabuk? He bung, gue memang ke Bar semalam tapi seingatku hanya minum dan tidak mabuk separah yang kau katakan itu" belah Revan.

Rehan memegang pelipisnya. "Memang ya kata orang kalau mabuk itu lupa segalanya. Bahkan mungkin lupa istri." guman Rehan

"Hahahaa" tawa mengejek Revan. "Apa lo bilang istri? Gue gak salah dengar?. Bukannya lo itu menganggap semua perempuan itu jalang kecuali ibumu dengan momku" papar Revan.

Responsibility & Decision  "My Heart"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang