The truth untold

1.6K 127 11
                                    

Musim panas di penghujung bulan Agustus. Hari demi hari berjalan dengan rutinitas yang sama. Aku mulai terbiasa hingga sesuatu yang bernama kejenuhan berubah menjadi hal biasa (juga).

Setiap pukul 8 pagi aku sudah duduk menghadap layar komputer. Memakai setelan blazer dan celana kain panjang. Id card dengan nama Jung Yerin, difisi keuangan. Aku baru saja mengalungkan pada leherku. Tadi pagi nyaris ketinggalan.

“Sepertinya aku ingin sedikit manis”
Pintaku pada ahjuma yang baru saja meletakkan secangkir kopi hitam. Dia tersenyum ramah, mengiyakan permintaanku. Meskipun sekilas nampak heran karena aku selalu minum kopi tanpa gula.

Aroma kopi adalah penarik semangat. Andalanku setiap pagi. Sebelum bertempur menghadapi jajaran angka yang memuakkan. Anehnya tanpa sadar aku mencintai pekerjaan ini, yang kadang bisa membuatku sangat depresi.

.

.

.

Sepuluh jam berlalu. Waktunya pulang. Lega rasanya hari ini tidak ada lembur. Aku ingin segera berendam air hangat. Kepalaku rasanya ingin meledak.

Aku masuk bis nomor 24. Butuh waktu setengah jam untuk sampai di apartemen. Aku memilih duduk di baris ketiga sebelah kanan. Menghadap pinggir kaca. Menikmati langit yang mulai bersemu jingga, hampir gelap. Juga menikmati lagu lewat earphone yang sudah ku pasang sejak duduk di halte menunggu bis tadi.

Di depanku duduk sepasang namja dan yeoja masih memakai seragam menengah atas. Mereka ketiduran. Nampak sangat lelah. Beberapa saat kemudian bis sedikit terguncang hingga membangunkan si namja. Dia melirik sisi kanannya. Si yeoja tidur bersandar pada kaca. Dengan mata yang belum sempurna terbuka, si namja merentangkan tangan kanan ke belakang leher si yeoja. Telapak tangannya ia gunakan untuk mengganjal sisi wajah si yeoja agar tidak terbentur. Lalu dia tidur lagi.

Bibirku otomatis tersenyum tipis saat melihat mereka. Sekaligus membawaku kembali pada kenangan kala itu.

Hwang Sinb.

Bukan kenangan istimewa. Setiap duduk berdua di dalam bis, dia selalu mengeluh saat aku bersandar pada pundaknya. Katanya aku suka menempel seperti cicak. Berat. Tapi dia diam-diam menarik kepalaku saat aku sudah ketiduran. Gengsi yang menggelikan. Huh!

.

.

.

Apartemen yang aku tinggali tidak begitu luas. Hanya ada dua ruang  utama yang tersekat. Tempat tidur juga tempat  menonton TV dan kamar mandi menghadap dapur.

Tas kerja, sepatu dan atasan blazer aku lepas berceceran dari depan pintu. Tubuhku langsung tumbang di sofa. Aku menutup mata rapat sambil mengambil nafas berat. Entah kenapa hari ini aku merasa lebih penat dari hari-hari sebelumnya.

Aku terpaksa bangkit menuju dapur karena bunyi perut yang tidak bisa di kompromi lagi. Untuk kesekian kali aku melewatkan makan siang. Lupa atau atau tidak sempat. Entahlah.

Ada cup ramyun kosong di sebelah cucian piring. Bekas makan malam semalam belum aku buang karena bangun kesiangan pagi tadi. Saat itu juga aku baru ingat kalau isi kulkas kosong.heol! apa aku harus makan ramyun lagi? Sepertinya tidak ada pilihan lain. Aku terlalu malas keluar lagi.

Aku buka laci tempat di mana ramyun terakhirku berada. Ternyata ada sisa dua ramyun di dalamnya. Aku langsung tertawa saat mengamati salah satu ramyun di tumpukan paling bawah. Ada kertas yang sengaja di tempel selotip pada kemasannya.

~ ini enak tapi ini racun. Jangan di makan!!~

Tulisan jelek ini pasti tulisan Hwang. Astaga aku masih menyimpan ramyun ini. Bahkan sudah lewat tanggal aman konsumsi. Ku kira sudah ikut terbuang.
Tanpa terasa air mataku menetes tepat di atas kertas. Membuat tulisannya sedikit pudar.

“Sial!”

Kepalaku mendongak menatap langit-langit. Membendung air yang rasanya sudah penuh di kelopak. Percuma. Aku selalu kalah. Malah sekarang  nyeri yang berdenyut di dada terasa semakin menyesakkan. Semakin di tahan semakin terasa mencekik.

Tubuhku mulai terhuyung. Niat mengisi perut langsung lenyap. Aku berjalan ke kamar sambil memeluk ramyun.

Aku kalah.

Lagi …

Aku mengingkari janji yang aku buat sendiri.

Lagi …



Aku menangis.



Lagi …




Mianhe …




Jeongmal …




Mianhe …






Aku selalu kalah.






Iya. Aku selalu di kalahkan rindu. Hwang, bahkan sampai malam ini aku belum sekalipun berhasil. Berhasil untuk tidak menangis. Setiap hal kecil yang pernah kau lakukan untukku menjadi kebiasaan yang mustahil aku lupakan.

Bahkan aku tidak pernah berhasil untuk terbiasa tanpamu.

Hwang selalu mengelus rambutku seperti kucing sampai aku tertidur. Hwang tidak pernah membiarkan aku lapar meskipun tengah malam. Hwang Sinb.


Sekarang aku akan bisa tidur hanya setelah lelah menangis. Kemudian bangun dengan dada yang terasa menyesakkan. Begitu berulang setiap hari. Foto berdua kita  masih aku tempelkan di cermin meja rias. Setiap pagi hanya itu yang bisa membuatku berhenti menangis dan memasang senyum palsu.


Tdak ada lagi si berisik yang selalu merajuk untuk saling menunjukkan wajah bantal masing-masing sesaat setelah bangun tidur. Notifikasi favorit dengan nama -Ddinb- selalu mengucapkan selamat pagi dengan cara-cara konyol. Kadang juga sebagai alarm makan yang sering aku lupakan.


Hwang Sinb, satu-satunya orang yang justru marah ketika aku sedang sakit. Dia akan mengomel atau bahkan mengacuhkan telponku. Di luar nampak apatis, tapi dia yang paling peduli dari siapapun. Di tengah keramaian Hwang enggan menggandeng tanganku. Memilih berjalan cepat sendirian. Perlakuannya yang paling menjengkelkan. Tapi justru itu yang paling aku rindukan.



Selalu menyuapi makanan bebas gigitannya padaku. Tawa menggelegar seperti namja. Keras tanpa haluan.



Setidaknya saat itu dia masih berada di sisiku. Hwang Sinb menjadi orang yang selalu aku andalkan. Aku berubah menjadi sangat egois dengan selalu bergantung padamu.




Ketika kau menghilang, aku ikut menghilang. Tidak ada yang bisa membuat aku benar-benar menjadi aku. Saat ada hal baik yang aku dapat, terasa kurang sempurna. Hambar.  Saat ada emosi sedih hanya ada depresi dan frustasi.









Hidupku kembali hitam putih. Perasaanku seperti mati.














Jebal~ aku masih ingin bersamamu.

Gfriend FanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang