blue hair tie ❀ chaeryeong/ryujin

928 87 14
                                    

An excerpt from Dumpster Club, the story I've never finished

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

An excerpt from Dumpster Club, the story I've never finished.

Bagaimana Ryujin dan tindakan kecilnya menumbuhkan bunga-bunga di hati Chaeryeong yang tandus.

[ gxg, fluff? | 788 w ]

//


Ruang kelas masih sepi ketika Lee Chaeryeong tiba. Ia melangkah masuk, sinar matahari pagi yang menembus jendela kelas memantulkan kilauan jaket warna keperakan yang ia kenakan. Rambut panjangnya lurus tergerai, jatuh bak tirai kala gadis itu menunduk untuk memeriksa sepatunya. Barusan ia menginjak sesuatu: permen karet. Dasar jorok, siapa sih petugas piket kemarin? Han Jisung?

Sungguh, ia bisa menyalahkan siapa saja jika penghuni kelas ini ada puluhan, tapi nyatanya mereka cuma berenam di kelas ilmu sosial. Chaeryeong mengenal setiap teman sekelasnya hingga ke seluk-beluk, hanya Han Jisung yang bisa bersanding dengan kata jorok.

Hari ini, ia memutuskan untuk duduk di bangku paling depan. Tidak ada alasan khusus, Chaeryeong ingin saja. Biasanya, ia lebih suka mengisi barisan kursi paling belakang, di paling pojok kalau kebetulan Lee Felix belum mengklaim posisi itu. Murid rajin bukan predikat yang mengikuti namanya, Lee Chaeryeong dikenal bukan karena prestasinya melainkan pesona sekaligus mulut kotornya. Oh mulut kotornya yang hebat itu, sudah mengirimnya ke kantor kepala sekolah entah berapa kali sampai wanita itu bosan melihat wajahnya. Wali kelasnya saja sudah menyerah dengan kebiasaan menyumpahnya itu.

Jam dinding di kelas menunjukkan pukul setengah delapan, dan Chaeryeong masih sendirian. Bosan, yang ia lakukan hanya bolak-balik memeriksa ponselnya, lalu mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan jari-jarinya dan meneriakkan lirik lagu favoritnya seperti orang gila. Bibirnya mengerucut, pandangannya mengedar ke sepenjuru kelas yang kosong dan hening. Menunggu lima orang datang saja selama ini. Apa hari ini libur mendadak dan ia tidak mendapat info?

Suara langkah kaki terdengar semakin keras mendekati kelas. Sosok Shin Ryujin muncul dari balik pintu, dan tumben sekali, tanpa ekor yang kerap mengikutinya ke sana ke mari. Ryujin menempati kursi di sebelahnya, bibirnya mengulas senyum yang Chaeryeong segera balas dengan senyuman yang tak kalah manis.

"Kamu udah belajar buat ulangan hari ini?" Ryujin mengawali konversasi mereka. Topik yang sangat membosankan tapi Chaeryeong tidak keberatan.

"Hm? Aku nggak gitu peduli," jawab Chaeryeong. Sejak kapan Lee Chaeryeong suka belajar? Bahkan dengan ancaman akan ditiadakannya kelas ilmu sosial jika nilai mereka tidak memenuhi standar, gadis itu masih tidak mau belajar mati-matian.

Sebuah anggukan dan 'oh' pelan adalah respon Ryujin sebelum canggung membunuh percakapan mereka, mengembalikan hening di ruangan. Ryujin bertopang dagu, sementara Chaeryeong di sebelahnya melipat lengan di dada sambil menatap lurus ke depan, entah memandangi papan tulis atau udara kosong.

"Chaeryeong," panggil Ryujin, si empunya nama menoleh. "Rambutmu cantik."

Oh, tentu saja, Chaeryeong sadar diri bahwa ia cantik—atau rambutnya cantik, apa pun itu. Si gadis Lee memiringkan kepalanya, sudut-sudut bibirnya terangkat sedikit mengakui ucapan Ryujin.

"Sini biar aku kuncir rambutmu."

Kata 'apa' atau bentuk ekspresi bingung lainnya belum sempat keluar dari mulut Chaeryeong. Ryujin menyampingkan duduknya, menyuruh Chaeryeong melakukan hal yang sama supaya posisi gadis itu membelakanginya. Ryujin mengeluarkan sebuah ikat rambut biru dari saku rompi seragamnya, melingkarkan benda itu pada pergelangan tangannya. Dengan lembut, jemari Ryujin mulai menyisiri rambut panjang Chaeryeong, sambil mulutnya mengoceh tentang keinginannya memiliki rambut panjang.

Memori Chaeryeong membawanya kembali ke awal mula, beberapa bulan lalu ketika kelas ilmu sosial baru saja terbentuk dan mereka harus membujuk para guru untuk mengajar. Pagi itu, Ryujin datang membawakan rok cadangan untuk Chaeryeong, mengikatkan dasi untuknya supaya ia tampil rapi. Gadis itu juga menguncir rambut panjangnya persis seperti saat ini, dengan ikat rambut biru yang sama pula.

Ryujin juga memujinya cantik waktu itu.

Cantik.

Kata itu terdengar jauh lebih tulus datang dari Shin Ryujin dibandingkan semua pujian tentang parasnya yang pernah ia dengar dari orang lain.

Bagai ombak, perasaan itu menerjangnya bersamaan dengan datangnya memori tadi. Memacu jantungnya, mengalirkan kehangatan ke seluruh tubuhnya. Pipinya memanas, ia harap mereka tidak semerah rona mawar musim semi. Namun Chaeryeong tidak membenci apa yang sedang ia rasakan. Seperti ledakan konfeti warna-warni. Chaeryeong suka konfeti.

Ryujin menepuk bahunya, pertanda ia sudah selesai menguncir rambut Chaeryeong. Si gadis Lee kembali ke posisi duduk asalnya, ekor kudanya berayun ringan.

"Aku jadi benar-benar ingin punya rambut panjang. Tapi kayaknya gak cocok," Ryujin memandangi Chaeryeong dan kuncir rambutnya.

"Cocok kok. Kamu cantik," kata Chaeryeong. Buru-buru ia melanjutkan. "Maksudku, pakai rambut panjang kamu tetap cantik."

Malu-malu, senyum kecil menyambangi bibir Shin Ryujin. Gadis itu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dan menundukkan kepala. Lagi-lagi keduanya saling diam kehabisan kata. Mata Chaeryeong terfokus pada wajah manis si gadis Shin, perlahan ia mendekat, menghapus spasi senti demi senti. Chaeryeong sepenuhnya jujur, ia pandai berbohong tapi pada kesempatan tertentu ia melisankan kata hatinya; Shin Ryujin memang cantik.

Dan sebuah kecupan singkat mendarat di pipi Ryujin.

Sontak Shin Ryujin menoleh, mendapati Lee Chaeryeong begitu dekat di sebelahnya. Kaget, tentu saja, namun tak ada bentuk protes apa-apa meluncur dari mulutnya.

"It's a thank you," gumam Chaeryeong pelan.

Bel periode pertama berbunyi nyaring, empat murid kelas ilmu sosial yang lain pun berdatangan.

//

SUPERCUT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang