i found love in your laugh ❀ jisung/yejin

699 64 18
                                    

"You are my happy place, when I'm tired and worn out

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"You are my happy place, when I'm tired and worn out."

(cheerleader!yejin & swimmer!jisung)

[ romance, pure fluff | 1064 w ]

//

Ini bukan kali pertama Park Yejin menonton pertandingan renang sang kekasih, namun untuk alasan yang belum jelas, jantungnya menolak tenang sejak lima menit lalu. Telapaknya berkeringat, jemarinya kemudian meremas-remas ujung rok seragam pemandu sorak yang masih ia kenakan.

Sebab-sebab yang terlintas di kepalanya sedemikian rupa: 1) kemungkinan ia lelah selepas berlatih rangkaian rutin yang sama puluhan kali, 2) lawan utama Han Jisung kali ini bukan main, seorang perenang muda yang sama berbakat dan berpengalaman. Maka itu, Yejin ikut gugup, atau 3) sang pujaan hati hari ini tampak seribu kali lebih memesona dari biasa. Yejin memutuskan alasan kedua dan ketiga adalah yang paling tepat.

Maniknya bertemu milik Jisung yang cokelat gelap selama sepersekian sekon. Si pemuda menyunggingkan senyum hangat, sorotnya penuh cinta, seakan ratusan orang lainnya yang memenuhi Pusat Olimpiade Akuatik tiada berarti. Mereka memudar, bersatu dengan latar menjadi bintik-bintik insignifikan. Adalah Yejin, warna cerah menyala, pusat semesta Jisung untuk sesaat. Kira-kira begitu bagaimana Yejin mengartikan cara Jisung memandangnya, bukan hanya kali ini, tapi di lain-lain hari pula.

Si gadis menunduk malu-malu, tersipu seperti remaja lima belas tahun yang baru mengenal cinta monyet. Ini bukan kali pertama Jisung tersenyum padanya, ini mungkin kali keseribu, dan bahkan di kali keseribu Yejin jatuh lagi dan lagi. Semakin dalam dan semakin tak tertolong. Bayangkan jika suatu saat pemuda itu meremukkan hatinya dengan kurang ajar, menenggelamkan dirinya di laut nelangsa, bagaimana ia berenang kembali ke tepian? Afeksinya pada Jisung membuatnya berbunga, sekaligus takut saking kuatnya.

Ah, pikirannya memang gemar mengambang-ambang ke segala penjuru. Yejin hanya mampu menepis mereka dan memaksa diri kembali ke realita. Suara-suara ramai penonton tumpang tindih berlomba-lomba masuk ke rungunya, menyadarkan si gadis akan sekitar. Ia kembali menegakkan duduknya, dan memerhatikan Jisung yang tengah bersiap di pinggir kolam.

Diam-diam netranya menelusuri setiap detail si pemuda Han. Tuhan pasti bersuka cita kala menciptakan sang tercinta: surai cokelatnya yang halus, mata yang berbinar penuh antisipasi, hidung dan bibir yang menawan. Lagi-lagi Yejin merasakan pipinya memanas, tak cukup berani melanjutkan observasi kecilnya yang agak lancang.

Pun ini bukan kali pertama ia melihat kekasihnya bertelanjang dada dalam berbagai okasi, celana dan kaca mata renang itu sudah akrab pula dengan Yejin. Pada kali kesekian, gelenyar aneh itu tetap menjalar ke seluruh tubuhnya.

Jangan kira Park Yejin hanya terpesona pada fisiknya, Han Jisung lebih dari seorang atlet renang tampan yang memikat di mata si gadis. Han Jisung adalah pelukan hangat di musim dingin, ia adalah gelak tawa di malam-malam musim panas, ia adalah pelepas lelah di musim gugur, ia adalah mawar yang bermekaran di musim semi.

Park Yejin tak mampu menekankan lebih jelas lagi, betapa ia menyayangi Han Jisung.

***

Malam telah larut selesai pertandingan, dan Han Jisung lelah hingga tulang-tulangnya terasa remuk semua. Tas hitamnya tersandang di bahu, seraya langkahnya setengah terseret di koridor yang sepi. Matanya berat, kantuk itu membandel memaksanya terpejam bahkan sambil berdiri. Ia mungkin sudah menjatuhkan diri ke permukaan lantai yang dingin, jika bukan karena kehadiran Park Yejin.

Gadis itu menunggu di penghujung koridor, senyum manis tersemat di bibir, rambut panjangnya digerai begitu saja. Jisung tidak akan pernah bosan mengungkapkan betapa ia menyukai seragam pemandu sorak itu pada Yejin. Rok biru putih sedikit di atas lutut, dipadu sepatu kets putih, dan sweater putih kebesaran yang ia kenakan itu, tampak sempurna. Pada hakikatnya, tak ada yang sempurna di dunia, tapi Jisung tidak akan sungkan menggunakan kata itu untuk Yejin.

Ia menghampiri Yejin dalam langkah-langkah pelan yang pasti, mencoba menarik bibirnya menjadi senyuman meski kepalanya berdenyut. Yejin menyambutnya dengan pelukan nyaman dan mengusap punggungnya, sementara ia membenamkan wajahnya di pundak si gadis.

Kehangatan mulai menggantikan sisa-sisa dingin air kolam yang seakan masih melekat di kulitnya, membuainya ke dalam tidur sekilas. Tarikan napasnya terasa ringan, dan jantungnya perlahan mendetakkan ritme beraturan. Akan ia biarkan Yejin mendekapnya seperti ini hingga mentari mengintip di timur bumi, andai tubuhnya tidak merindukan kasur empuk.

"Kamu gak apa-apa?" suara Yejin seolah membangunkannya dengan sentuhan lembut. Bukannya lekas menjawab, malah ia peluk gadis itu semakin erat.

"Aku capek. Dan ngantuk," gumam Jisung.

"Ayo pulang."

"Masih mau ketemu kamu."

"Besok kan masih bisa ketemu lagi."

Jisung melepas pelukan, menatap gadisnya lekat-lekat, tenggelam dalam sorot yang teduh. Sesungguhnya besok, lusa, maupun minggu depan dalam kasus mereka tak pernah pasti. Keduanya punya kesibukan masing-masing, terlebih Jisung dengan jadwal latihannya yang mencekik. Mungkin tak ada besok, tak ada lusa, yang ada hanya sekarang, meski cuma beberapa menit.

Direngkuhnya pinggang Yejin, kembali menghapus spasi di antara mereka. Lalu ia mengecup lembut bibir si gadis, membuat semburat merah muda samar menyambangi pipinya. Yejin tertawa kecil, membalas kecupan itu dan memainkan helai rambut Jisung dengan jemari.

Betapa ia menyukai senyum dan tawa Park Yejin, melebihi berenang—jauh melebihi berenang, melebihi segalanya, bahkan medali emas. Tawa itu selalu berhasil membuatnya jatuh hati, menyingkirkan lelahnya, memulihkan suasana hatinya di hari paling buruk sekali pun. Tawa yang telah didengarnya ribuan kali, efeknya tak pernah sedikit pun berkurang.

Ingin rasanya Jisung memeluk gadis itu lagi, mengangkatnya dan mengajaknya berputar-putar bak adegan di film romantis klasik. Apa daya, ia terlalu lelah bahkan untuk mengangkat kelopak mata. Ia istirahatkan kembali kepalanya di pundak Yejin, tanpa kata dan suara.

Park Yejin tempat ia berlindung, bahagianya di kala raga menyerah pada beban berat kehidupan. Yejin mungkin tak sadar betapa eksistensinya berarti besar bagi Jisung, ketika ia menjadi dirinya yang ceria, dan tanpa susah payah membuatnya jatuh semakin dalam.

"Yejin," panggil Jisung, masih di posisi yang sama, seolah pundak si gadis terlalu nyaman untuk ia tinggalkan.

"Iya?"

"Jangan pergi."

"Aku gak pergi ke mana-mana, Jisung," Yejin membalas, lagi-lagi dengan tawa kecilnya yang manis itu di ujung kalimat. Tangannya mengelus kepala si pemuda penuh sayang.

Tolong, hentikan saja rotasi dan revolusi dan biarkan mereka membeku bersama waktu. Han Jisung tidak ingin esok tiba, ia tidak ingin menghirup aroma klorin, tidak ingin meluncur ke dalam air, tidak. Sehari saja, ia harap Yejin tak harus sibuk melempar pom-pom dan melompat-lompat enerjik di bawah terik matahari. Sehari saja, tanpa pemandu sorak dan kolam renang.

Sehari saja, untuk menjadi Han Jisung dan Park Yejin bagi satu sama lain.

***

hhhgjjgjjkkkk lol i'm sorry ini tuh bucin + cheesy level Zeus. edisi kangen Jisung/Yejin dan kepengen nulis fluff ringan tanpa beban. I hope you enjoy it and didn't cringe.

SUPERCUT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang