Banyu dan Langit, bukan kembar. Dua saudara dengan beda umur, beda karakter, beda prestasi. Banyu lebih tua satu tahun dari Langit. Tapi mereka seangkatan. Kini mereka duduk dikelas sebelas.
Banyu dikenal cuek, masa bodoh, dia cuma mengenal orang yang berada dalam satu lingkup, yaitu tim baseball sekolahnya. Namun, satu sekolah tahu Banyu, secara Banyu itu cukup populer, apalagi dikalangan murid perempuan. Langit juga tak kalah populer, guru-guru pun sangat hapal. Langit lebih supel orangnya, mudah berteman dan satu lagi sifat supernya, jahil.
"Keluar yuk?" Suara orang diseberang sana.
"Gue udah di luar,"
"Tumben, biasanya masih molor."
"Biasalah, anak lanang gue." Banyu menjauhkan hpnya seketika karena tawa cempreng si penelpon. Ditunggunya sampai sobat satu timnya itu selesai. "Udah?"
"Hehe, posisi dimana? Gue kesitu, mau ngomong."
"Di kantin Abah." Tepatnya di belakang sekolah, disana tersedia fotocopy, laundry dan yang pasti makanan macam kantin. Siapapun boleh kongkow disana. Free wi-fi, tapi khusus buat sejenis dan sebangsa Banyu yang memang sudah langganan. Jangan lupakan, dilarang merokok. Cuma itu saja syaratnya.
"Oke sip, gue meluncur."
"Bah, bubur sama teh panas ya?"
-BanyuLangit-
Cucuran keringat meluncur dikulit mulus Langit. Badannya lengket, dia benci itu. Dihukum lari keliling lapangan basket outdoor. Mana matahari mulai panas lagi. Langit tak dihukum sendiri, ada beberapa anak lain. Untung saja ada tumbler yang selalu tersedia di dalam tasnya. Dia bisa menenggak saat haus dan dahaga menyerang.
Langit mengetuk pintu kelas, semua mata tertuju padanya. Mungkin heran, Langit itu murid yang rajin, taat aturan. Tak pernah telat. Dan kali ini?
"Maaf Bu, saya telat." Langit menyilakan poni basahnya karena keringat, pemandangan indah bagi cewek-cewek di kelas. Para gadis mulai bisik-bisik. Apalagi baju yang setengah basah. Terlihat dari bagian dada dan punggung. Bikin cewek-cewek makin histeris dalam hati. Ingin mereka teriak kegirangan bisa lihat Langit dalam kondisi berbeda. Langit terlihat sexy dimata para hawa.
"Duduklah," Langit mengangguk, tak lupa mengucapkan terima kasih. Guru itu masih bisa mentolerir keterlambatan Langit si anak teladan. Yah, dia kan murid kesayangan para guru sampai kepsek.
-BanyuLangit-
"Jadi gini Nyu, anak-anak mau ngadain syukuran." Ujar Ibram, teman yang Banyu tunggu sambil makan bubur, soalnya lapar, belum sarapan.
"Perlu syukuran?"
"Ya perlu lah, kan kita kudu ucapkan rasa syukur kita sama Allah. Kita menang juga karena kehendak Allah Nyu. Coba kalau kehendak-Nya beda." Jelas Ibram panjang lebar dan Banyu cuma manggut-manggut.
"Oh, tempatnya dimana?" Tanya Banyu.
"Nyu, basa-basi bisa nggak sih? 'Terima kasih Bam penjelasannya' atau apa kek! Nggak bisa nyenengin temen amat lo." Protes Ibram, yang panggilan 'sayang'nya itu Babam. Banyu cuma melirik lalu geleng-geleng kepala. Teman yang satu ini, memang aneh, beda cerita kalau dia sudah di lapangan. "Tempatnya di saung Bu Mansur, ntar malem. Jam delapan lah, bisa kan?"
"Coba deh, kalo bisa gue kabarin. Soalnya Bunda pergi. Tuh bocah sama siapa?" Yang dimaksud itu Langit. Dia tidak bisa ditinggal, pasti bakal minta ikut. Aji mumpung, Bunda lagi tak ada.
-BanyuLangit-
Babam, Banyu.
Cuma pinjem visual, kalian bisa bayangkan sendiri visual yang menurut kalian pas.
Mulmed bukan milik saya,
Terima kasih sudah membaca.Salam hangat,
HOIWonososbo, 01 September 2018.
KAMU SEDANG MEMBACA
Banyu Langit ✔ [TERBIT]
Teen FictionDapat dipesan via IG @Amorimey.media [FIN] It's all about loving our parents, brothers, and friends. A little cry and put some sweet love. That's a life. -BanyuLangit- © 2018, Hoiland.