Lembar 18

3.8K 331 49
                                    

Terhitung tiga hari sejak masuk rumah sakit, Banyu masih butuh pengobatan di bahunya. Mulutnya bergerak, mengunyah bubur ransumnya dengan malas. Tapi sang nenek terus saja memaksa, menjejalkan padanya tanpa ampun. Banyu cuma bisa manut.

"Nek," nenek yang sibuk menyendok bubur segera mengalihkan pandangan pada cucunya. Seraya menyodorkan satu sendok penuh itu, di depan bibir Banyu. Segera Banyu melahap suapan kesekian kalinya itu.

"Kenapa le?" dari siratan wajah Banyu, kelihatannya serius. Nenek menajamkan pendengarannya, siapa tahu, penting.

Pertanyaan yang akan Banyu lontarkan seketika mandheg, tercekat di kerongkongan. "Adek, dia baik kan?" bukan itu yang mau dia tanyakan. Kenapa terasa susah? Padahal cuma nanya. Dia ingin tahu alasan sebenarnya kenapa bunda sebegitu bencinya pada Banyu. Hey, dia sudah besar, meskipun baru remaja. Tapi kan, dia harus tahu soal itu. Apa karena dia bego? Tak sepintar Langit. Makanya bunda kesuh. Atau alasan lain?

"Baik, cuma belum bangun." Jelas nenek dengan lembut. "A, suapan terakhir. Habis ini minum obat."

Nenek sadar, Banyu pasti kepikiran, tentang Langit, juga bundanya. Banyu hanya jadi korban pelampiasan emosi bunda semata. Dia tak salah apa-apa. Begitu ingin, nenek jelaskan semuanya, penyebab, awal mula bunda bersikap demikian, tapi belum wayahe, atau memang belum tepat waktunya. Harus dalam kondisi kepala dingin, dan suasana yang baik saat penjabarannya. Karena, setiap orang bisa mengambil kesimpulan sendiri, takutnya, Banyu akan mengasumsikan hal buruk tentang itu, karena saat ini, dia masih tertekan, butuh lebih banyak sokongan moril. Nenek meletakkan mangkuk bubur yang sudah kosong di nakas. Lalu mengambilkan beberapa butir obat oral yang sudah disediakan. Banyu meminum obatnya dalam sekali telan, tanpa kesulitan.

-BanyuLangit-

"Oi, Jan! Ciye, berduaan!" goda seorang cowok pada orang yang dipanggil Jan. Janoko, anak SMA sebelah. Setelah kegiatan sekolah berakhir, memang selalu asik buat nongkrong. Macam mereka, yang sedang berada di sebuah kafe.

"Apaan sih lo, Bim?" jawab malas Janoko. Sudah mirip tokoh wayang saja, ada Janoko, ada Bima. Semar sama garengnya lagi jualan dawet, jadi tidak ikut ngumpul.

"Lama nggak jumpa bro, baseball tanpa lo, sepi sumpah!" keluh Bima bukan satria garuda. "Si anak baru nggak asik. Kenapa nggak balas dendam? Ini semua kan gara-gara Banyu sialan itu." Bima mulai jadi kompor. Janoko yang masih nyimpan dendam kesumat sama Banyu, mulai terpengaruh.

"Heh, tuh anak bukannya satu sekolah sama Banyu?" kata cowok berambut plontos, di samping Bima, Wira menunjuk cewek di depan Janoko.

"Gue nggak tertarik gituan kok. Santai aja kali." Ujar si cewek, cuek.

"Emang bisa diandelin tuh, cewek lo Jan." Si cewek mengibaskan rambut panjangnya, membanggakan diri, kelihatan lebih congkak.

"Oiya, Banyu kan juga nggak bakal ikut tanding, besok. Cidera dia." Cerita si cewek itu.

"Serius!" girang Wira. "Ah, tetep aja. Ada si Ibram. Dia pelempar ulung disana."

"Yang penting kan si Banyu lagi nggak bisa ngapa-ngapain. Masih ada peluang kan?" kali ini Janoko ikut menanggapi.

"Bener juga," Wira dan Bima bertos ria dengan semangat menggebu.

"Muka kamu kenapa, sih Nau?" tanya Janoko.

"Nggak papa."

-BanyuLangit-

"Cukup, Hil. Kamu udah kelewat batas." Gagah mengacak rambutnya kasar, "hubunganmu dengan mereka berdua cuma sekedar pasien dan dokter. Nggak lebih,  kamu bergerak terlalu jauh. Bukan wewenangmu untuk ikut campur hal pribadi mereka."

Banyu Langit ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang