Lembar 13

3.9K 392 25
                                    


"Gue nggak bakal ketahuan kan?"

"Nggak lah, tenang aja. Tapi, mau nyampe kapan lo sembunyi-sembunyi kayak gini?"

"Gue nggak tahu, gue cuma bisa jadi secret admirer. Nggak bisa lebih dari itu."

-BanyuLangit-

"Nyu,"

"Hem." Babam dan Banyu baru saja keluar kelas, dua pelajar itu menjadi orang terakhir, tepat pada saat bel istirahat. Setelah berjibaku dengan soal ulangan bahasa inggris. Akhirnya, mereka bisa menikmati udara segar di luar ruangan. Yah, palingan mereka dapat nilai pas-pasan. Nilai standart KKM saja sudah membuat mereka merasa senang, tenang dan aman.

"Makan yuk, laper." Ajak Babam. Dia memang sedang kelaparan sejak pagi, dia tidak sempat sarapan. Makin lapar setelah 'perang'. Banyu mengiyakan permintaan Babam dengan malas. "Kita kemon!" saking laparnya, Babam menyeret Banyu beringas.

Setibanya disana, mereka menuju tempat mak Budi, dia menyediakan soto ayam paling enak menurut dua cowok itu. Mak Budi sudah meracik isian soto di mangkok, tinggal di masukin kuah. Untuk menanggulangi biar antrian tidak mengular. Biar tidak umpel-umpelan juga. Kalau sedang ramai, kadang pada rebutan.

"Liatin siapa sih?" Babam mengikuti arah pandang Banyu. "Langit apa Bening, ha?"

"Apaan sih, lo?" Langit dan Bening, mereka sedang duduk berdua, makan bersama, jangan lupakan, tawa lebar dua orang itu. Bukan tanpa alasan, entah kenapa, Banyu merasa Langit sedang anti pada Banyu. Dia menghindari Banyu, walaupun itu di rumah. Langit menyuruh Banyu minta maaf secara resmi sama Bening. Dan pagi tadi dia benar-benar melakukan itu di depan Langit. Di depan seluruh teman satu kelas Langit. Bahkan Babam ikut kesana. Padahal sudah Banyu suruh jangan ngintil.

"Bening cantik ya? Nih punya lo." Ternyata soto mereka sudah siap. Banyu tak menggubris pertanyaan Babam. Cantik? Ya dia memang cantik. Tertarik? Jujur, Banyu pernah tertarik. Banyu menghela nafas, otaknya mungkin sedang oleng hingga dia tak bisa berpikir jernih. Tidak boleh. Banyu punya perasaan yang mengganjal pada Bening.

Mereka bergerak ke tempat duduk khusus buat anak-anak baseball. Rata-rata, satu klub olahraga di sekolahnya punya tempat duduk tetap di kantin. Selain makan, mereka pasti akan membahas laga atau turnamen.

"Oe!" Babam menyapa para anggota, termasuk kapten.

"Telat amat," ujar salah satu anggota klub.

"Biasa lah." Cuma Babam yang menanggapi, Banyu mulai sibuk melahap soto yang sudah dia campur dengan bakwan, saos tomat, kecap dan sambal.

-BanyuLangit-

"Udahlah, jangan terlalu di pikirin."

"Nggak bisa Gah, aku nggak bisa berhenti mikirin ini." Hilda meremas gelas kertas kopi yang sudah kosong. "Ibu Langit benar-benar egois. Aku udah jelasin sedetil-detilnya sama dia." Hilda menyandarkan punggungnya kasar pada kursi besi. Kepalanya dia tengadahkan ke atas, menatap gumpalan awan yang mirip permen kapas ity. "Aku harus gimana, Gah?"

"Yaudah, biarin aja dia kena akibatnya sendiri." Penuturan Gagah membuat Hilda berjengit. Dan menatap sengit tunangannya itu. "Bercanda." Jari telunjuk dan tengah milik Gagah membentuk huruf v.

"Nggak lucu tauk." Gagah mengacak rambut, ikut frustasi rasanya. Pasien-pasien Hilda selalu bermasalah, jika bukan pasiennya, ya, walinya yang kolot. Kalau Gagah jadi Hilda, dia bisa mati muda. Amit-amit jabang bayi.

"Aku tahu, Langit mengingatkanmu mendiang adik kembarmu."

"Aku kangen Hilya. Kalau saja-" ucapan Hilda terpotong, mengingat masa lalu yang sungguh menyakitkan. Hilya, adik kembarnya, dia juga menderita anemia aplastik seperti Langit. Karena ibunya ngotot untuk tidak transplantasi sum-sum tulang, karena kondisi Hilya yang tak terlalu buruk. Ternyata, kejadian itu malah menjadi cambuk untuk keluarganya, keadaan Hilya benar-benar memburuk. Hilya tidak mampu bertahan. Ibunya sangat menyesal kemudian. Hilya, kenangan dari seorang yang tercinta. Arti namanya, tapi yang Hilya hadirkan adalah kenangan buruk yang menjadi alasan Hilda menjadi dokter. Dia tidak mau itu terjadi pada Langit. "Kalau saja dia masih hidup-"

"Sst, cukup. Itu emang berat, tapi itu semua membuat kamu kuat. Right?" Hilda memandang orang yang paling berharga setelah orang tuanya itu. "Dia udah tenang di sana. Di samping Tuhan. Kita cukup kirimkan doa buat Hilya. Biar jadi penerang di tempat istirahatnya. Ikhlasin, biar Hilya tenang."

"Setelah ini, selamatkan Langit. Jangan lepaskan. Oke?" Hilda hanya mengangguk sebagai jawaban. Bibirnya bergetar, tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Likuid bening telah membanjiri pipinya. Gagah menyalurkan kekuatan dengan pelukan hangat miliknya. Hilda sedang sangat emosional saat ini. Yang dia butuhkan adalah dukungan. Apalagi di tengah berbagai tekanan dan keadaan pasien yang ditanganinya dalam kondisi yang berbeda-beda.

-BanyuLangit-

"Lang! Kita perlu bicara." Langit dengan cepat menjauh dari Banyu yang mengekorinya. "Lang!"

Masih seribu bahasa. Tapi Langit berhenti melangkah. "Gue udah minta maaf sama Bening. Seperti yang lo minta. Gue nggak bakal gangguin dia. Plis, bicara sama gue."

Langit berbalik, dia tersenyum simpul, "lo emang udah minta maaf. Tapi lo masih naro curiga kan sama Bening?"

Skak!

Banyu tidak tahu harus gimana. Iya, dia memang masih curiga, dia akan selalu curiga sampai nemuin pelaku aslinya. Kelihatan sepele, cuman karena permen, Banyu dan Langit adu mulut mirip anak kecil. Tapi, bagi Banyu, itu bukan hal sepele. Kejadian di masa lalu terus saja barlalu lalang diotaknya.

"Abang, kamu makan apa?"

"Loli dek, mau?" Langit kecil mengangguk-angguk lucu.

"Barengan ya? Abang, cuma ada satu." Tawar Banyu.

Langit menggeleng cepat, "nggak mau, itu buat Langit!" ujar Langit bersungut-sungut. Pipinya menggembung, bibirnya maju, menambah tingkat kelucuan Langit.

"Yaudah, ini buat kamu." Banyu memberikan loli itu pada Langit. Langit menerimanya, benar-benar senang. Banyu tersenyum dibuatnya.

'Plak!'

"Hueee!" permen manis itu jatuh. Banyu menatapnya nanar. Sedetik kemudian, suara teriakkan Bundalah yang terdengar. Memaki Banyu dengan kata bodoh dan kalimat buruk lainnya.

"Kamu kan tahu Langit tidak boleh makan sembarangan, hah!"

Alasan kenapa dia tidak suka benda manis itu. Masih terekam jelas. Bagaimana bunda mengutarakan kalimat kebencian padanya.

"Sori,"

-BanyuLangit-

Mulmed bukan milik saya.
Terima kasih sudah membaca.

Salam hangat,
HOI

Wonosobo, 20 Oktober 2018.

Banyu Langit ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang